Tuesday, August 31, 2010

Karena Aku Sayang, Beratnya Cobaan Tak Menghalangiku memberi ASI

ndangi wajah yang cantik dan lucu itu. Matanya terpejam dengan mulut mungil yang sedikit terbuka. Wajahnya terlihat begitu damai hingga rasa itu bisa menembus jantungku. Napasmu yang lembut terdengar merdu di telingaku.
Menyusui dengan penuh kasih

Menyusui dengan penuh kasih
Oh anakku, kamu adalah buah hatiku yang akan selalu kusayang sampai kapanpun. Baiklah nak, aku akan mulai menuliskan kisah seputar kelahiranmu yang sungguh luar biasa hingga membuat hidupku mengalami suatuperubahan.





Dan agar kelak kau tahu bahwa aku sangat menyayangimu.
Saat itu kamu telah mempunyai kakak yang lucu dan manis yaitu kak Rania. Kak Rania berusia 18 bulan saat aku melepas alat KB spiral. Kau tahu mengapa? Karena aku melihat kenyataan bahwa kakak-kakakku setelah melepas KB spiral, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa mengandung lagi. Jadi saat itu aku pun memutuskan untuk melepasnya sehingga bila membutuhkan waktu yang agak lama, jaraknya tak terpaut jauh dengan kakakmu dan seandainyapun cepat maka perkiraan terpautnya pun tak terlalu dekat. Dan tak dinyana, ternyata 1 bulan kemudian aku terlambat datang bulan dan dinyatakan positif hamil. Padahal saat itu aku masih menyusui kakakmu yang berumur 19 bulan tetapi demi kebaikan semua, maka aku putuskan untuk menyapih kakakmu. Kakakmu seakan tahu dan mengerti kalau akan mempunyai seorang adik sehingga saat disapih pun aku tak mengalami kesulitan. Hari-hari selanjutnya berlangsung menyenangkan hingga saatnya mual-mual karena awal kehamilan datang. Aku menjadi sangat malas makan dan minum, badanku lemas. Aku hanya minum vitamin dari dokter dan makan buah saja..

Ketika itu papamu baru saja membuka usaha sendiri dan aku yang sedang hamil muda merasa sedikit terabaikan. Tapi aku juga menyadari mungkin itu karena pengaruh perubahan hormon sehingga merasa bertambah sensitif. Pada suatu malam sekitar pukul 20.30, aku merasa badanku tidak enak da rasa cemas datang melanda dengan tiba-tiba. Ya Allah, ada apa ini? Perasaan cemas yang begitu kuat membuat jantungku berdebar kencang. Pikiranku kalut dan berkelebat pikiran yang aneh-aneh (maaf nak, aku tidak cukup kuat untuk bisa menulisnya tapi mungkin suatu saat aku bisa menceritakannya). Sementara papamu masih sibuk dengan usaha barunya, aku merasa bingung harus bagaimana.

Aku merasa bukan diriku. Keadaan perutku yang kosong, jantung berdebar kencang, pikiran tak menentu..
Saat itu yang kulakukan adalah berwudhu sambil aku siram kepalaku sementara bibirku tak henti mengucap istighfar. Ada apa ini? Kenapa aku seperti ini? Hari-hari berikutnya kulalui dengan perasaan cemas setiap saat. Saat akan tidur, bangun tidur, di saat beraktifitas, sholat sekalipun. Ya Allah, ampuni diriku atas segala dosaku. Aku datangi kedua orang tuaku, aku ceritakan dan tak lupa akupun meminta maaf pada mereka barangkali ada sesuatu hal yang salah aku lakukan menurut mereka. Papamu yang memang pendiam, selalu mendengarkan apa-apa yang kurasakan.
Sambil beraktifitas (saat itu aku masih kerja) dengan keadaan cemas dan jantung berdebar sangatlah tidak nyaman. Dan anehnya, pikiranku sering memikirkan hal-hal yang aneh dan itu bukan tentang dirimu, sayang. Kenapa saat itu aku sama sekali tak memikirkan kandunganku? Meskipun aku tetap rutin minum vitamin dan obat yang diberi dokter. Ketika aku bercerita pada dokter kandunganku, beliau hanya mengatakan kondisi yang wajar karena ada perubahan hormon. Tetapi aku merasa hal itu sudah tak wajar karena jantungku berdebar setiap saat. Aku benci dengan diriku sendiri.
Padahal nak, aku sayang sekali denganmu.. Berita kehamilanku (mengandung engkau, sayangku) menjadikanku merasa seorang ibu yang paling bahagia di dunia. Aku tak tahu mengapa hal ini bisa terjadi. Setiap saat aku harus selalu menjaga akal sehatku. “Wen, kamu adalah seorang yang kuat, cobaan ini pasti akan terlampaui, nikmati hidupmu dengan suami, anak dan janinmu dan introspeksilah dirimu,” akal sehatku menyemangatiku.

Saat kandunganku berusia 7 bulan, aku diantar oarangtuaku ke RS untuk periksa jantung dan cek darah lengkap. Hasilnya semua positif (normal). Aku sudah menduga pasti alasan psikologis. Karena di samping sering mengalami cemas, aku juga sering mimpi buruk, berat badanku menurun. Aku tahu stress dan depresi bisa mempengaruhi perkembangan janin juga perkembangan bayi kelak setelah lahir. Maka akupun bertekad untuk bisa memberimu ASI. Karena aku tahu dengan memberikan ASI, bisa menambah kedekatan hubungan ibu dan anak. Sering aku belai perutku sambil bicara lembut denganmu,”maafkan mama, nak. Mama sayang kamu”. Aku perdengarkan suara-suara yang lembut, entah itu musik klasik, mengaji, dsb. Karena selain bisa menenangkan diriku sendiri, aku tahu engkaupun sejatinya ikut mendengar.. Suatu ketika saat aku hamil tua (sudah melewati tanggal yang diperkirakan dokter), ibuku sakit dan harus opname. Akupun menyempatkan control kandungan.
Dan disarankan untuk menginap di RS karena sepertinya akan melahirkan. Aku yang sebenarnya tak merasakan gejala akan melahirkan apapun, menurut saja. Rasa sakit baru kurasakan keesokan harinya. Kamarku di lantai 3, sedangkan ibuku di lantai 1 sementara lift yang ada sedang rusak. Pagi itu aku berniat menjenguk ibuku di lantai 1 lewat tangga (tanpa sepengetahuan perawat), saat sedang ngobrol, aku merasakan mulas-mulas. “Wah, rasanya mau melahirkan nih,”pikirku.
Akupun bergegas naik ke lantai 3 sambil sesekali berhenti untuk mengambil nafas. Sesampai di kamarku, aku sempatkan untuk sarapan sebagai persediaan tenaga mengedan. Sesekali aku melirik jam, ternyata rasa mulas sudah 5 menit-an. Berkali-kali aku telepon papamu yang saat itu pulang sebentar setelah menginap di RS. Aku sempatkan ke kamar mandi untuk BAB dan ternyata sudah tak sanggup. Akhirnya aku pencet tombol, perawat datang dan membawaku ke ruang bersalin.
Papamu datang beberapa saat sebelum kau lahir, anakku. Hari itu hari Minggu pukul 09.46 WIB, engkau hadir dalam hidupku. Alhamdulillah, engkau sehat, cantik dan normal. Berat lahirmu 3,4 kg dengan panjang 49 cm. Terima kasih Allah atas segala karuniaMu. Kami sepakat memberimu nama Alvita Aqilah. Di balik kebahagiaan atas kehadiranmu nak, ternyata rasa cemasku tidak mereda bahkan pikiran-pikiran aneh yang terlintas semakin membuatku senewen.
Setelah dua hari menginap di RS, kita berdua boleh pulang, sayang. Tapi aku memutuskan untuk berkonsultasi terlebih dulu ke dokter spesialis kesehatan jiwa sementara kamu di bawa pulang nenekmu.
Oleh dokter, aku diberi obat penenang dengan dosis rendah yang tidak mempengaruhi produksi ASI. Penyakit cemas itu sangat membuatku tidak tenang tapi di lain sisi, keinginanku sangat kuat untuk bisa memberimu ASI. Sebenarnya saat itu ASI-ku sepertinya sangat sedikit karena

payudaraku pun tidak membesar selayaknya ibu-ibu lain yang menyusui.
Aku menyadarinya karena itu aku selalu makan makanan yang bergizi, obat, vitamin khususnya yang bisa memperbanyak produksi ASI selain obat penenangku. Beberapa hari setelah keluar dari RS selepas melahirkan, ternyata ada lagi cobaan untukku. Aku terkena penyakit herpes.
Ya, tangan sisi kananku secara berurutan timbul gelembung-gelembung berkelompok dan rasanya apa ya, seperti krenyeng-krenyeng gitu, sayang. Aku khawatir ini bisa mempengaruhi dalam pemberian ASI untukmu tetapi kata dokter tak apa-apa asalkan aku memakai masker.
Bahkan kata dokter, aku harus bersyukur karena penyakit ini muncul setelah aku melahirkan tidak saat hamil. Jadilah aku harus menyusui dirimu dengan memakai masker dan memakai baju berlengan panjang sampai aku sembuh. Alhamdulillah, kamu kuat sayang, sehingga tak tertular penyakitku. Di balik itu semua, penyakit depresiku masih belum reda bahkan saat itu aku diliputi rasa takut. Takut menyakitimu, aku takut melihat pisau, aku takut ditinggal berdua saja denganmu, nak. Maaf bukannya apa-apa, aku sangat takut jika di luar kontrolku bisa menyakitimu.
Jantungku masih terus berdegup kencang, keringat dingin setiap saat. Kurasakan obat penenang itu tak banyak membantu, malah terkadang aku merasa semakin berdebar maka aku putuskan tak meminumnya lagi.
Sambil aku menyusuimu, aku selalu pusatkan diriku untukmu, berceloteh denganmu mengabaikan pikiran-pikiran liarku, aku belai lembut kulitmu dengan mengabaikan degupan jantungku. Aku berdzikir untuk mengingatNya, berusaha selalu berpikir positif. Ya Allah, ampuni aku, aku ingin jadi ibu yang baik untuk anakku. Beberapa bulan menyusuimu ternyata memberi efek positif. Tubuhmu terlihat gemuk, rambutmu yang tebal dan hitam membuatmu tampak lucu dan cantik bahkan sempat menjadi juara ke-2 lomba bayi sehat yang diadakan di RSSG. Rasa cemasku perlahan-lahan menghilang meskipun terkadang masih muncul tetapi aku banyak belajar darimu, sayangku bagaimana caranya mengelola rasa,

mengelola hati dan cinta. Aku belajar untuk selalu pasrah dan ikhlas dalam menjalani hidup.
Akhirnya program ASI eksklusifmu pun selesai, saatnya engkau mengenal makanan padat. Sebenarnya aku masih berkeinginan untuk memberimu ASI hingga usia 2 tahun tetapi aku sudah merasa kewalahan, Payudaraku sudah begitu susut sementara kamu sudah mulai memasukkan jarimu ke mulut karena merasa kehausan. Maafkan aku, sayang. Aku tak tahu, apakah karena depresi ini begitu menyita diriku hingga ASI-ku tak begitu banyak tetapi aku senang karena kita memiliki banyak waktu yang berharga.
Saat ini kamu sudah kelas 1 SD, kamu pintar dan cantik. Kamu pun punya seorang adik yang cantik. Alhamdulillah sekarang aku bisa memberi adikmu ASI hingga berusia 2 tahun. Itu semua juga berkat kamu, sayangku. Kamu telah membantuku melewati masa-masa yang sulit dalam

hidupku. Terima kasih, sayangku. Mama selalu sayang dan cinta padamu.
Tak terasa aku menulis hingga kurasakan kakimu menyentuh badanku. Badanmu mulai bergerak lembut sementara matamu tampak mengerjap-kerjap. Dan sesaat kau membuka mata, lalu melihat ke arahku tampak bibirmu yang mungil berucap lirih,”mama….” Sambil tanganmu berusaha memelukku. Aku pun segera menyambut pelukan hangat itu.


http://selasi.net/index.php?option=com_content&%3Bview=article&%3Bid=207%3Akarena-aku-sayang-tak-beratnya-cobaan-tak-menghalangiku-memberi-asi&%3Bcatid=27%3Akisah-sukses&%3BItemid=70

Monday, August 30, 2010

imunisasi haram or halal??

Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas... bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”15



...Imam Bukhari dalam Shahih-nya men-takhrij hadit...s dari Asma’ binti Abi Bakr



Dari Asma’ binti Abu Bakr bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah ibn Zubair di Mekah mengatakan, “Saya keluar dan aku sempurna hamilku 9 bulan, lalu aku datang ke madinah, aku turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, maka beliau Shalallaahu alaihi wasalam menaruh Abdullah ibn Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau Shalallaahu alaihi wasalam memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah ibn Zubair. Dan itu adalah makanan yang pertama kali masuk ke mulutnya melalui Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, kemudian beliau men-tahnik-nya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam pun mendo’akannya dan mendoakan keberkahan kepadanya..."


osulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya yang HALAL itu jelas dan HARAM itu juga jelas. Diantaranya keduanya ada perkara-perkara yang syubhat yang tidak diketahui kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat, ses...ungguhnya ia memelihara dirinya dan kehormatan dirinya. Dan siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat kemungkinan ia terjatuh kedalam yang haram seperti seorang pengembala yang mengembala di sekeliling kawasan larangan, maka di khawatirkan binatang2 ternaknya akan masuk dan makan rumput di kawasan larangan itu. Ketahuilah sesungguhnya bagi setiap raja ada kawasan larangan dan kawasan larangan Allah ialah segala yang diharamkan oleh Nya. Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad manusia ada segumpal daging. Jika baik daging tersebut maka baiklah seluruh jasad dan jika rusak maka rusaklah seluruh jasad. Ketahuilah, segumpal daging itu ialah hati "(HR Bukhari Muslim)Firman Allah : "sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih disebut nama selain Allah. Akan tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya ( QS Al-Baqarah 173)Menurut Physicians’ Desk Refference 1997 Ramuan Vaksin itu mengandung zat kimia bahaya al : Aluminium (zat yg dpt merusak otak, syaraf dll), formalin, raksa, gelatin dll juga mengandung tisu (jaringan) binatang spt ginjal monyet.Menurut saya Vaksin itu HARAM karena banyak mengandung zat kimia yg berbahaya bagi tubuh manusia juga mengadung NAJIS.






Tentang Imunisasi



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).



Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.2 Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.



Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.



Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.3



Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.4



Hukum Asal ImunisasiImunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).



Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5 Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.6



Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)Setelah sekelumit informasi tantang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?



A.Gambaran PermasalahanBerdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :



1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).



2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.



3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).



4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.



5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.



6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. 7



B.Jembatan Menuju JawabanUntuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum.5



1.Masalah IstihalahMaksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.9



Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :



a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.



Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah10, salah satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad11. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah12, Inul Qoyyim, asy-Syaukani13, dan lain-lain.14



Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”15



2.Masalah IstihlakMaksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.



Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)



“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).



Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”16Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”17



3.Dhorurat dalam ObatDhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:



“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”



Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.



Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”20



4.Kemudahan Saat KesempitanSesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.20



Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”21



5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang HaramMasalah ini terbagi menjadi dua bagian :



a.Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat.22



b.Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :



Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :... Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.... (QS. Al- An’am [6]:119)



Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.



Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)



Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.



Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25



6.Fatwa-fatwaDalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :



a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-BuhutsDalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :



1)Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.



2)Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26





b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :



1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27



C.Kesimpulan dan Penutup Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :



1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.



Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.



Daftar Referensi 1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia5.dan lain-lain





Catatan Kaki :1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-82.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22 5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/267.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 3698.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/21010.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/42211.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/50312.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm. 2313.Sailul-Jarror: 1/5214.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/39416.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.25617.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/17318.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 8419.Qowa’idul-Ahkam hlm. 14120.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/23121.Qowa’idul-Ahkam hlm. 6022.Syarh Shohih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/20523.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/42624.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/60525.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187. 26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.



[Sumber : Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke - 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]



Tentang Imunisasi



Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), imunisasi diartikan “pengebalan” (terhadap penyakit). Kalau dalam istilah kesehatan, imunisasi diartikan pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu. Biasanya imunisasi bisa diberikan dengan cara disuntikkan maupun diteteskan pada mulut anak balita (bawah lima tahun).



Vaksin adalah bibit penyakit (misal cacar) yang sudah dilemahkan, digunakan untuk vaksinasi.2 Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak.



Imunisasi memiliki beberapa jenis, di antaranya Imunisasi BCG, Imunisasi DPT, Imunisasi DT, Imunisasi TT, imunisasi Campak, Imunisasi MMR, Imunisasi Hib, Imunisasi Varicella, Imunisasi HBV, Imunisasi Pneumokokus Konjugata. Perinciannya bisa dilihat dalam buku-buku kedokteran, intinya jenis imunisasi sesuai dengan penyakit yang perlu dihindari.



Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.3



Jadi, imunisasi merupakan penemuan kedokteran yang sangat bagus dan manfaatnya besar sekali dalam membentengi diri dari berbagai penyakit kronis, padahal biayanya relatif murah.4



Hukum Asal ImunisasiImunisasi hukumnya boleh dan tidak terlarang, karena termasuk penjagaan diri dari penyakit sebelum terjadi. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda : “ Barangsiapa yang memakan tujuh butir kurma ajwah, maka dia akan terhindar sehari itu dari racun dan sihir” (HR. Bukhari : 5768, Muslim : 4702).



Hadits ini menunjukkan secara jelas tentang disyari’atkannya mengambil sebab untuk membentengi diri dari penyakit sebelum terjadi.5 Demikian juga kalau dikhawatirkan terjadi wabah yang menimpa maka hukumnya boleh sebagaimana halnya boleh berobat tatkala terkena penyakit.6



Penggunaan Vaksin Polio Khusus (IPV)Setelah sekelumit informasi tantang imunisasi di atas, sekarang kita masuk kepada permasalahan inti yang menjadi polemik hangat akhir-akhir ini, yaitu imunisasi dengan menggunakan vaksin polio khusus (IPV) yang dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari babi. Bagaimanakah gambaran permasalahan yang sebenarnya ? Dan bagaimanakah status hukumnya?



A.Gambaran PermasalahanBerdasarkan surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 1192/MENKES/IX/2002, tanggal 24 September 2002, serta penjelasan Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan, Direktur Bio Farma, Badan POM, LP POM-MUI, pada rapat Komisi Fatwa, Selasa, 1 Sya’ban 1423 / 8 Oktober 2002; dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :



1.Pemerintah saat ini sedang berupaya melakukan pembasmian penyakit polio dari masyarakat secara serentak dengan cara pemberian dua tetes vaksin Polio oral (melalui saluran pencernaan).



2.Penyakit (virus) Polio, jika tidak ditanggulangi, akan menyebabkan cacat fisik (kaki pincang) pada mereka yang menderitanya.



3.Terdapat sejumlah anak balita yang menderita immunocompromise (kelainan sistem kekebalan tubuh) yang memerlukan vaksin khusus yang diberikan secara injeksi (vaksin jenis suntik).



4.Jika anak-anak yang menderita immunocompromise tersebut tidak diimunisasi maka mereka akan menderita penyakit Polio serta sangat dikhawatirkan pula mereka akan menjadi sumber penyebaran virus.



5.Vaksin khusus tersebut (IPV) dalam proses pembuatannya menggunakan enzim yang berasal dari porcine (babi), namun dalam hasil akhir tidak terdeteksi unsur babi.



6.Sampai saat ini belum ada IPV jenis lain yang dapat menggantikan vaksin tersebut dan jika diproduksi sendiri maka diperlukan investasi (biaya/modal) sangat besar sementara kebutuhannya sangat terbatas. 7



B.Jembatan Menuju JawabanUntuk sampai kepada status hukum imunisasi model di atas, kami memandang penting untuk memberikan jembatan terlebih dahulu dengan memahami beberapa masalah dan kaidah berikut, setelah itu kita akan mengambil suatu kesimpulan hukum.5



1.Masalah IstihalahMaksud Istihalah di sini adalah berubahnya suatu benda yang najis atau haram menjadi benda lain yang berbeda nama dan sifatnya. Seperti khamr berubah menjadi cuka, bai menjadi garam, minyak menjadi sabun, dan sebagainya.9



Apakah benda najis yang telah berubah nama dan sifatnya tadi bisa menjadi suci? Masalah ini diperselisihkan ulama, hanya saya pendapat yang kuat menurut kami bahwa perubahan tersebut bisa menjadikannya suci, dengan dalil-dalil berikut :



a.Ijma’ (kesepakatan) ahli ilmu bahwa khomr apabila berubah menjadi cuka maka menjadi suci.b.Pendapat mayoritas ulama bahwa kulit bangkai bisa suci dengan disamak, berdasarkan sabda Nabi “ Kulit bangkai jika disamak maka ia menjadi suci.” ( Lihat Shohihul-Jami’ : 2711)c.Benda-benda baru tersebut – setelah perubahan – hukum asalnya adalah suci dan halal, tidak ada dalil yang menajiskan dan mengharamkannya.



Pendapat ini merupakan madzhab Hanafiyyah dan Zhohiriyyah10, salah satu pendapat dalah madzhab Malik dan Ahmad11. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah12, Inul Qoyyim, asy-Syaukani13, dan lain-lain.14



Alangkah bagusnya ucapan Imam Ibnul-Qoyyim : “Sesungguhnya benda suci apabila berubah menjadi najis maka hukumnya najis, seperti air dan makanan apabila telah berubah menjadi air seni dan kotoran. Kalau benda suci bisa berubah najis, lantas bagaimana mungkin benda najis tidak bisa berubah menjadi suci? Allah telah mengeluarkan benda suci dari kotoran dan benda kotor dari suci. Benda asal bukanlah patokan. Akan tetapi, yang menjadi patokan adalah sifat benda tersebut sekarang. Mustahil benda tetap dihukumi najis padahal nama dan sifatnya telah tidak ada, padahal hukum itu mengikuti nama dan sifatnya.”15



2.Masalah IstihlakMaksud Istihlak di sini adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan hal yang lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharamannya, baik rasa, warna, dan baunya.



Apabila benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut bisa menjadi suci? Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci, berdasarkan dalil berikut : “Air itu suci, tidak ada yang menajiskannya sesuatu pun.” (Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:14)



“Apabila air telah mencapai dua qullah maka tidak najis.”(Shohih. Lihat Irwa’ul-Gholil:23).



Dua hadits di atas menunjukkan bahwa benda yang najis atau haram apabila bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakn warna atau baunya maka dia menjadi suci. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa yang memperhatikan dalil-dalil yang disepakati dan memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat ini paling benar, sebab najisnya air dan cairan tanpa bisa berubah, sangat jauh dari logika.”16Oleh karenanya, seandainnya ada seseorang yang meminum khomr yang bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat khomr-nya hilang maka dia tidak dihukumi minum khomr. Demikian juga, bila ada seorang bayi diberi minum ASI (air susu ibu) yang telah bercampur dengan air yang banyak sehingga sifat susunya hilang maka dia tidak dihukumi sebagai anak persusuannya.”17



3.Dhorurat dalam ObatDhorurat (darurat) adalah suatu keadaan terdesak untuk menerjang keharaman, yaitu ketika seorang memilki keyakinan bahwa apabila dirinya tidak menerjang larangan tersebut niscaya akan binasa atau mendapatkan bahaya besar pada badanya, hartanya atau kehormatannya. Dalam suatu kaidah fiqhiyyah dikatakan:



“Darurat itu membolehkan suatu yang dilarang”



Namun kaidah ini harus memenuhi dua persyaratan: tidak ada pengganti lainya yang boleh (mubah/halal) dan mencukupkan sekadar untuk kebutuhan saja.



Oleh karena itu, al-Izzu bin Abdus Salam mengatakan : “Seandainya seorang terdesak untuk makan barang najis maka dia harus memakannya, sebab kerusakan jiwa dan anggota badan lebih besar daripada kerusakan makan barang najis.”20



4.Kemudahan Saat KesempitanSesungguhnya syari’at islam ini dibangun di atas kemudahan. Banyak sekali dalil-dalil yang mendasari hal ini, bahkan Imam asy-Syathibi mengatakan: “Dalil-dalil tentang kemudahan bagi umat ini telah mencapai derajat yang pasti”.20



Semua syari’at itu mudah. Namun, apabila ada kesulitan maka akan ada tambahan kemudahan lagi. Alangkah bagusnya ucapan Imam asy-Syafi’i tatkala berkata :“Kaidah syari’at itu dibangun (di atas dasar) bahwa segala sesuatu apabila sempit maka menjadi luas.”21



5.Hukum Berobat dengan sesuatu yang HaramMasalah ini terbagi menjadi dua bagian :



a.Berobat dengan khomr adalah haram sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil :“Sesungguhnya khomr itu bukanlah obat melainkan penyakit.” (HR. Muslim:1984)Hadist ini merupakan dalil yang jelas tentang haramnya khomr dijadikan sebagai obat.22



b.Berobat dengan benda haram selain khomr. Masalah ini diperselisihkan ulama menjadi dua pendapat :



Pertama : Boleh dalam kondisi darurat. Ini pendapat Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Ibnu Hazm.23 Di antara dalil mereka adalah keumuman firman Allah :... Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.... (QS. Al- An’am [6]:119)



Demikian juga Nabi membolehkan sutera bagi orang yang terkena penyakit kulit, Nabi membolehkan emas bagi sahabat arfajah untuk menutupi aibnya, dan bolehnya orang yang sedang ihrom untuk mencukur rambutnya apabila ada penyakit di rambutnya.



Kedua: Tidak boleh secara mutlak. Ini adalah madzab Malikiyyah dan Hanabillah.24 Di antara dalil mereka adalah sabda Nabi :“Sesungguhnya allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan benda haram” (ash-Shohihah:4/174)



Alasan lainnya karena berobat hukumnya tidak wajib menurut jumhur ulama, dan karena sembuh dengan berobat bukanlah perkara yang yakin.



Pendapat yang kuat: Pada asalnya tidak boleh berobat dengan benda-benda haram kecuali dalam kondisi darurat, yaitu apabila penyakit dan obatnya memenuhi kriteria sebagai berikut :1)Penyakit tersebut penyakit yang harus diobati2)Benar-benar yakin bahwa obat ini sangat bermanfaat pada penyakit tersebut.3)Tidak ada pengganti lainnya yang mubah.25



6.Fatwa-fatwaDalam kasus imunisasi jenis ini, kami mendapatkan dua fatwa yang kami pandang perlu kami nukil di sini :



a.Fatwa Majelis Eropa Lil-Ifta’ wal-BuhutsDalam ketetapan mereka tentang masalah ini dikatakan: “Setelah Majelis mempelajari masalah ini secara teliti dan menimbang tujuan-tujuan syari’at, kaidah-kaidah fiqih serta ucapan para ahli fiqih, maka Majelis menetapkan :



1)Penggunaan vaksin ini telah diakui manfaatnya oleh kedokteran yanitu melindungi anak-anak dari cacat fisik (kepincangan) dengan izin Allah. Sebagaimana belum ditemukan adanya pengganti lainnya hingga sekarang. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai obat dan imunisasi hukumnya boleh, karena bila tidak maka akan terjadi bahaya yang cukup besar. Sesungguhnya pinti fiqih luas memberikan toleransi dari perkara najis- kalau kita katakan bahwa cairan (vaksin) itu najis- apabila terbukti bahwa cairan najis ini telah lebur denga memperbanyak benda-benda lainnya. Ditambah lagi bahwa keadaan ini masuk dalam kategori darurat atau hajat yang sederajat dengan darurat, sedangkan termasuk perkara yang dimaklumi bersama bahwa tujuan syari’at yang paling penting adalah menumbuhkan maslahat dan membedung mafsadat.



2)Majelis mewasiatkan kepada para pemimpin kaum muslimin dan pemimpin markaz agar mereka tidak bersikap keras dalam masalah ijtihadiyyah (berada dalam ruang lingkup ijtihad) seperti ini yang sangat membawa maslahat yang besar bagi anak-anak muslim selagi tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang jelas.26





b.Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)Majelis Ulama Indonesia dalam rapat pada 1 Sya’ban 1423H, setelah mendiskusikan masalah ini mereka menetapkan :



1). Pada dasarnya, penggunaan obat-obatan, termasuk vaksin, yang berasal dari – atau mengandung- benda najis ataupun benda terkena najis adalah haram.2). Pemberian vaksin IPV kepada anak-anak yang menderita immunocompromise, pada saat ini, dibolehkan, sepanjang belum ada IPV jenis lain yang suci dan halal.27



C.Kesimpulan dan Penutup Setelah keterangan singkat di atas, kami yakin pembaca sudah bisa menebak kesimpulan kami tentang hukum imunisasi IPV ini, yaitu kami memandang bolehnya imunisasi jenis ini dengan alasan-alasan sebagai berikut :



1.Imunisasi ini sangat dibutuhkan sekali sebagaimana penelitian ilmu kedokteran.2.Bahan haram yang ada telah lebur dengan bahan-bahan lainnya.3.Belum ditemukan pengganti lainnya yang mubah.4.Hal ini termasuk dalam kondisi darurat.5.Sesuai dengan kemudahan syari’at di kala ada kesulitan.



Demikianlah hasil analisis kami tentang masalah ini, maka janganlah kita meresahkan masyarakat dengan kebingungan kita tentang masalah ini. Namun seperti yang kami isyarakatkan di muka bahwa pembahasan ini belumlah titik, masih terbuka bagi semuanya untuk mencurahkan pengetahuan dan penelitian baik sari segi ilmu medis maupun ilmu syar’i agar bisa sampai kepada hukum yang sangat jelas. Kita memohon kepada Allah agar menambahkan bagi kita ilmu yang bermanfaat. Amin.



Daftar Referensi 1.Ahkamul-Adwiyah Fi syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan bin ahmad al-Fakki, terbetin Darul-Minhaj, KSA, cet. Pertama 1425H.2.Al-Mawad al-Muharromah wa Najasah fil Ghidza’wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih ahmad, terbitan Darul –Qolam, damaskus, cet. Pertama 1425 H.3.Fiqih Shoidali Muslimin kar. Dr. Kholid abu Zaid ath-Thomawi, terbitan Dar shuma’i, KSA, cet. Pertama 1428 H4.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia5.dan lain-lain





Catatan Kaki :1.Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah Fil-Ghidza’ wad-Dawa’ kar. Dr. Nazih Hammad hlm. 7-82.KBBI Edisi Ke tiga Cetakan ketiga 2005 hlm. 1258.3.Sumber:medicastore.com. Lihat pula al-Adwa kar. Ali al-Bar hlm. 126, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah kar. Dr. Hasan al-Fakki hlm. 128.4.Ahkamu Tadawi kar. Ali al-Bar hlm. 22 5.Ibnul-Arobi berkata: “Menurutku bila seorang mengetahui sebab penyakit dan khawatir terkena olehnya, maka boleh baginya untuk membendungnya dengan obat.” (al-Qobas: 3/1129)6.Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Ibnu Baz: 6/267.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 3698.Lihat Al-Mawad al-Muharromah wan-Najasah hlm. 16-38, Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187-195, Fiqh Shoidali al-Muslim kar. Dr. Khalid abu Zaid hlm. 72-84.9.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin:1/21010.Roddul-Mukhtar’: 1/217, al-Muhalla: 7/42211.al-Majmu’: 2/572 dan al-Mughni: 2/50312.Al-Ikhtiyorot al-Fiqhiyyah hlm. 2313.Sailul-Jarror: 1/5214.Lihat masalah ini secara luas dalam kitab al-Istihalah wa ahkamuha Fil-Fiqh Islami kar. Dr. Qodhafi ‘Azzat al-Ghonanim.15.I’lamul-Muwaqqi’in: 1/39416.Majmu’ Fatawa: 21/508, al-Fatawa al-Kubro: 1.25617.Al-Fatawa al-Kubro kar. Ibnu Taimiyyah: 1/143, Taqrirul-Qowa’id kar. Ibnu Rojab: 1/17318.Al-asybah wan-Nazho’ir Ibnu Nujaim hlm. 94 dan al-Asybah wan-Nazho’ir as-Suyuthi hlm. 8419.Qowa’idul-Ahkam hlm. 14120.Al-Muwafaqot kar. Asy-Syathibi: 1/23121.Qowa’idul-Ahkam hlm. 6022.Syarh Shohih Muslim kar. An-Nawawi: 13/153, Ma’alim Sunan kar. Al-Khoththobi: 4/20523.Lihat Hasyiyah Ibni Abidin: 4/215, al-Majmu’ kar. An-Nawawi: 9/50, al-Muhalla kar. Ibnu Hazm: 7/42624.Lihat al-Kafi kar. Ibnu Abdil Barr hlm. 440, 1142, al-Mughni kar. Ibnu Qudamah: 8/60525.Ahkamul Adwiyah Fi Syari’ah Islamiyyah hlm. 187. 26.Website Majlis Eropa Lil Ifta’wal Buhuts/www.e-cfr.org, dinukil dari kitab Fiqh Shoidali al-Muslim hlm. 107.27.Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia hlm. 370.



[Sumber : Majalah Al Forqan, Edisi 05 Th. ke - 8 1429 H/2008 M, oleh : Al Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi]

puisi ASI

uisi ini disadur secara bebas dari "The Twelve Days of Breastfeeding", oleh The Lactation Team at Tucson Medical Center, in Tucson, Arizona (USA), 2008; Dan pertama kali muncul pada Januari 2009, ILCA eGlobe.


Semoga membantu ayah dan bunda untuk terus berjuang memberikan yang terbaik bagi buah hati.


Di hari pertama kehidupan bersama Ibunda tercinta;

Melalui langkah yang terbaik bagi kehidupan baruku; Ia menyusuiku!


Di hari kedua kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Ia menyusuiku dari kedua payudaranya dengan penuh cinta kasih


Di hari ketiga kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Ibuku memberikanku Kolostrum sampai 5 hari kemudian tanpa menyerah


Di hari keempat kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Kuperdengarkankan padanya suara menelanku yang lantang


Di hari kelima kehidupanku bersama ibunda tercinta;

Ia memberikan cukup banyak air susu mengalir dari payudaranya.


Di hari keenam kehidupanku bersama ibunda tercinta;

Kuberikan enam buah popok basah padanya


Di hari ketujuh bersama Ibunda tercinta;

Kuberikan padanya tujuh sendawa dan senyum termanis


Di hari ke delapan kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Kami melakukan konseling bersama Konselor/Konsultan Laktasi dengan hati bahagia


Di hari ke sembilan kehidupan bersama Ibunda tercinta;

Ia semakin menikmati kebersamaan denganku kala menyusui


Di hari ke sepuluh kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Ia menyusuiku paling tidak 10 kali dalam sehari


Di hari ke sebelas kehidupanku bersama Ibunda tercinta;

Berat badanku telah kembali sesuai ketika aku lahir dan ayah tersenyum gembira


Di hari ke duabelas kehidupan bersama Ibunda tercinta;

Ia dengan senyum terindah di dunia berkata, "ASIku telah mengalir deras dan bisa mencukupi kebutuhanmu, anakku.."


Jakarta, 30 Agustus 2010

Dalam penantian anakku ketiga, semoga Kami dapat menikmati masa-masa menyusui dengan penuh kebahagiaan..

*HZ*

bahaya susu formula

RESIKO PADA BAYI DAN ANAK-ANAK

1. Meningkatkan resiko asma

Sebuah penelitian di Arizona, Amerika Serikat yang menggunakan sampel 1.246 bayi sehat menunjukkan hubungan yang kuat antara menyusui dan gangguan pernafasan pada bayi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak di bawah umur 6 tahun yang tidak disusui sama sekali, akan memiliki resiko gangguan pernafasan tiga kali lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang disusui. (Wright AL, Holberg CJ, Taussig LM, Martinez FD. Relationship of infant feeding to recurrent wheezing at age 6 years. Arch Pediatr Adolesc Med 149:758-763, 1995)

v Penelitian pada 2.184 anak yang dilakukan oleh Hospital for Sick Children di Toronto, Kanada menunjukkan bahwa resiko asma dan gangguan pernapasan mencapai angka 50% lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula, dibandingkan dengan bayi yang mendapatkan ASI sampai dengan usia 9 bulan atau lebih. (Dell S, To T. Breastfeeding and Asthma in Young Children. Arch PediatrAdolesc Med 155: 1261-1265, 2001)

v Para peneliti di Australia Barat melakukan penelitian terhadap 2602 anak-anak untuk melihat peningkatan resiko asma dan gangguan pernafasan pada 6 tahun pertama. Anak-anak yang tidak mendapatkan ASI beresiko 40% lebih tinggi terkena asma dan gangguan pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan. Para peneliti ini merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan untuk mengurangi resiko terkena asma dan gangguan pernafasan. (Oddy WH, Peat JK, de Klerk NH. Maternal asthma, infant feeding, and the risk for asthma in childhood. J. Allergy Clin Immunol. 110: 65-67, 2002)

v Para ahli melihat pada 29 penelitian terbaru untuk mengevaluasi dampak ‘melindungi’ terhadap asma dan penyakit pernapasan atopik lainnya yang diberikan oleh ASI. Setelah menggunakan kriteria penilaian yang ketat, terdapat 15 penelitian yang memenuhi persyaratan untuk dievaluasi, dan ke-15 penelitian tersebut menunjukkan manfaat/efek melindungi yang diberikan oleh ASI dari resiko asma. Para ahli menyimpulkan, tidak menyusui atau memberikan ASI pada bayi akan meningkatkan resiko asma dan penyakit pernafasan atopik. (Oddy WH, Peat JK. Breastfeeding, Asthma and Atopic Disease: An Epidemiological Review of Literature. J Hum Lact 19: 250-261, 2003)

v Porro E, Indinnimeo L, Antognoni G, Midulla F, Criscione S. Early wheezing and breastfeeding (Menyusui dan kejadian sesak napas dini). J Asthma 1993;30:23-8

v Burr ML, Limb ES, Maguire JM, Amarah L, Eldridge BA, Layzell JCM, Merret TG. Infant feeding, wheezing, and allergy: a prospective study (Pemberian makan pada bayi, sesak napas, dan alergi : Kajian prospektif). Arch Dis Child 1993;68:724-28

v Wright AL, Holberg CJ, Taussig LM, Martinez FD. Relationship of infant feeding to recurrent wheezing at age 6 years (Hubungan antara pemberian makan pada bayi terhadap kejadian sesak napas berulang pada usia 6 tahun). Arch Pediatr Adolesc Med 1995;149:758-63

v Oddy WH, Holt PG, Sly PD, Read AW, Landau LI, Stanley FJ, Kendall GE, Burton PR. Association between breastfeeding and asthma in 6 year old children: findings of a prospective birth cohort study (Hubungan antara menyusui dan asma pada anak usia 6 tahun : temuan pada studi lanjutan kelahiran prospektif). Br Med J 1999;319:815-9

v Gdlavevich M, Minouni D, Minouni M. Breastfeeding and the risk of bronchial asthma in childhood: a systematic review with meta-analysis of prospective studies (Menyusui dan resiko asmabronkial pada masa kanak-kanak : tinjauan sistematik dengan meta-analisis dari studi prospektif). J Pediatr 2001;139:261-6

2. Meningkatkan resiko alergi

v Anak-anak di Finlandia yang mendapatkan ASI lebih lama memiliki resiko lebih rendah untuk terkena penyakit atopik, eksim, alergi makanan dan gangguan pernafasan karena alergi. Pada usia 17 tahun, resiko gangguan pernafasan karena alergi pada mereka yang tidak mendapatkan ASI (atau mendapat ASI dalam jangka waktu pendek) adalah 65%, sementara pada mereka yang disusui lebih lama hanya 42%. (Saarinen UM, Kajosarri M. Breastfeeding as a prophylactic against atopic disease: Prospective follow-up study until 17 years old. Lancet 346: 1065-1069, 1995)

v Bayi yang memiliki riwayat asma/gangguan pernafasan karena memiliki riwayat alergi dari keluarganya, diteliti untuk penyakit dermatitis atopik dalam tahun pertama kehidupannya. Menyusui eksklusif selama tiga bulan pertama diakui dapat melindungi bayi dari penyakit dermatitis. (Kerkhof M, Koopman LP, van Strien RT, et al. Risk factors for atopic dermatitis in infants at high risk of allergy: The PIAMA study. Clin Exp Allergy 33: 1336-1341, 2003)

v Pengaruh dari konsumsi harian ibu akan vitamin C dan E pada komposisi anti-oksidan di ASI sebagai zat yang melindungi bayi dari kemungkinan terkena penyakit atopik diteliti. Makanan yang dikonsumsi oleh ibu yang menderita penyakit atopik dipantau selama 4 hari, kemudian diambil sampel ASI dari ibu yang memiliki bayi dengan usia 1 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi vitamin C sehari-hari pada makanan ibu dapat meningkatkan kadar vitamin C pada ASI. Semakin tinggi kadar vitamin C pada ASI dapat menurunkan risiko terkena penyakit atopik pada bayi. (Hoppu U, Rinne M, Salo-Vaeaenaenen P, Lampi A-M, Piironen V, Isolauri E. Vitamin C in breast milk may reduce the risk of atopy in the infant. Eur J of Clin Nutr 59: 123-128, 2005)

v Lucas A, Brooke OG, Morley R, Cole TJ, Bamford MF. Early diet of preterm infants and development of allergic or atopic disease: randomized prospective study (Diet awal pada bayi prematur dan perkembangan alergi atau penyakit atopik : studi prospektif acak). Br Med J 1990;300:837-40

v Kajosaari M, Saarinen UM. Prophylaxis of atopic disease by six months' total solid food elimination (Profilaksis penyakit atopik dengan penundaan total enam bulan makanan padat). Acta Pediatr Scand 1983;72:411-14

v Ellis MH, Short JA, Heiner DC. Anaphylaxis after ingestion of a recently introduced hydrolyzed whey protein protein formula (Anafilaksis setelah penyerapan protein whey terhidrolisasi baru pada protein susu formula bayi). J Pediatr 1991;118:74-7

v Saarinen UM, Kajosaari M. Breastfeeding as prophylaxis against atopic disease: prospective follow-up study until 17 years old (Menyusui sebagai profilaksis terhadap penyakit atopik : studi lanjutan hingga usia 17 tahun). Lancet 1995;346:1065-69

v Saylor JD, Bahna SL. Anaphylaxis to casein hydrolysate formula (Anafilaksis pada susu formula kasein hidrolisat). J Pediatr 1991;118:71-4

v Marini A, Agosti M, Motta G, Mosca F. Effects of a dietary and environmental prevention programme on the incidence of allergic symptoms in high atopic risk infants: three years' followup (Pengaruh program pencegahan lingkungan dan diet terhadap kejadian gejala alergi pada bayi dengan resiko tinggi atopik : lanjutan tiga tahun). Acta Pædiatr 1996;Suppl 414 vol 85:1-19

v Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD, Halonen M, Morgan W, Taussig LM. Epidemiology of physician diagnosed allergic rhinitis In childhood (Epidemiologi dari diagnosis alergi rhinitis pada anak-anak). Pediatrics 1994:94:895-901

v Bloch AM, Mimouni D, Minouni M, Gdalevich M. Does breastfeeding protect against allergic rhinitis during childhood? A meta-analysis of protective studies (Apakah menyusui melindungi dari alergi rhinitis selama masa kanak-kanak? Sebuah meta-analisis studi prospektif). Acta Paediatr 2002;91:275-9

3. Mengurangi/menghambat perkembangan kognitif

v Untuk menentukan dampak dari memberikan ASI eksklusif dengan perkembangan kognitif pada bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah, digunakanlah metode “Bayley scale of infant development” ketika bayi berumur 13 bulan dan “Wechler Preschool and Primary Scales of Intelligence” pada anak ketika berumur 5 tahun. Kesimpulan dari hasil penelitian tersebut adalah memberikan ASI secara eksklusif (tanpa tambahan vitamin/supplemen apapun) pada bayi prematur atau bayi dengan berat lahir rendah terbukti memberikan keuntungan yang signifikan pada perkembangan kognitif dan pertumbuhan fisik yang lebih baik. (Rao MR, Hediger ML, Levine RJ, Naficy AB, Vik T. Effect of breastfeeding on cognitive development of infants born small for gestational age. Arch Pediatr Adolesc 156: 651-655, 2002)

v Menyusui terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang, karena memiliki pengaruh positif pada pendidikan dan perkembangan kognitif di masa kanak-kanak, tegas sebuah penelitian di Inggris. Analisis regresi yang dilakukan pada sebuah penelitian menyatakan bahwa menyusui secara signifikan berkorelasi positif dengan pendidikan dan kecerdasan. (Richards M, Hardy R, Wadsworth ME. Long-tern effects of breast-feeding in a national cohort: educational attainment and midlife cognition function. Publ Health Nutr 5: 631-635, 2002)

v 439 anak sekolah di Amerika Serikat yang lahir antara tahun 1991 – 1993 serta memiliki berat badan lahir rendah (di bawah 1,500 gram) diberikan beberapa jenis tes kognitif. Hasilnya, anak-anak yang memiliki berat badan lahir rendah dan tidak pernah disusui cenderung memiliki nilai/hasil tes yang rendah pada tes IQ, kemampuan verbal, kemampuan visual dan motorik dibandingkan mereka yang disusui/mendapatkan ASI. (Smith MM, Durkin M, Hinton VJ, Bellinger D, Kuhn L. Influence of breastfeeding on cognitive outcomes at age 6-8 year follow-up of very low-birth weight infants. Am J Epidemiol 158:1075-1082, 2003)

v Penelitian pada anak-anak yang lahir dari keluarga miskin di Filipina membuktikan bahwa anak-anak yang mendapatkan ASI sampai umur 12-18 bulan memiliki nilai yang lebih tinggi pada “nonverbal intelligence test”. Efek seperti ini akan lebih besar dampaknya pada bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (1.6 dan 9.8 poin lebih tinggi). Para peneliti menyimpulkan, bahwa memberikan ASI/menyusui dalam jangka waktu yang lama sangatlah penting, apalagi setelah mengenalkan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI), terutama untuk bayi berat badan lahir rendah. (Daniels M C, Adair L S. Breast-feeding influences cognitive development of Filipino children. J Nutr. 135: 2589-2595, 2005)

v (review): Andraca I, Uauy R. Breastfeeding for optimal mental development (Menyusui mendorong perkembangan mental yang optimal). Simopoulos AP, Dutra de Oliveira JE, Desai ID (eds): Behavioral and Metabolic Aspects of Breastfeeding (Aspek Perilaku dan Metabolik dari Menyusui). World Rev Nutr Diet. Basel, Karger, 1995;78:1-27

v (review): Gordon N. Nutrition and cognitive function (Nutrisi dan Fungsi Kognitif). Brain and Development 1997;19:165-70

v Morrow-Tlucak M, Haude RH, Ernhart CB. Breastfeeding and cognitive development in the first 2 years of life (Menyusui dan perkembangan kognitif pada usia 2 tahun pertama). Soc Sci Med 1988;26:635-9

v Taylor B, Wadsworth J. Breastfeeding and child development at five years (Menyusui dan perkembangan pada usia 5 tahun). Dev Med Child Neurol 1984;26:73-80

v Lucas A, Morley R, Cole TJ, Lister G, Leeson-Payne C. Breastmilk and subsequent intelligence quotient in children born preterm (Menyusui dan angka kecerdasan anak yang lahir kurang bulan). Lancet 1992;339:261-4

v Nettleton JA. Are n-3 fatty acids essential nutrients for fetal and infant development (Apakah asam lemak n-3 nutrisi esensial untuk perkembangan janin dan bayi). J Am Diet Assoc 1993;93:58-64

v Rogan WJ, Gladen BC. Breastfeeding and cognitive development (Menyusui dan perkembangan kognitif). Early Hum Dev 1993;31:181-93

v Silver LB, Levinson RB, Laskin CR, Pilot LJ. Learning disabilities as a probable consequence of using chloride-deficient infant formula (Probabilitas gangguan belajar sebagai konsekuensi penggunaan sufor rendah klorida). J Pediatr 1989;115:97-9

v Willoughby A, Moss HA, Hubbard VS, Bercu BB, Graubard BI, Vietze PM, et al. Developmental outcome in children exposed to chloride deficient formula (Perkembangan pada anak yang mengkonsumsi susu formula rendah klorida). Pediatrics 1987;79:851-7

v Wing CS. Defective infant formulas and expressive language problems: a case study (Studi kasus: kerusakan susu formula bayi dan masalah bicara dan bahasa). Language, Speech and Hearing Services in Schools 1990;21:22-7

v Crawford MA. The role of essential fatty acids in neural development: implications for perinatal nutrition (Peranan asam lemak esensial pada perkembangan syaraf: Implikasi untuk nutrisi perinatal). Am J Clin Nutr 1993;57(suppl):703S-10S

v Temboury MC, Otero A, Polanco I, Arribas E. Influence of breastfeeding on the infant's intellectual development (Pengaruh menyusui pada perkembangan kecerdasan bayi). J Pediatric Gastroenterol Nutr 1994;18:32-36

v Pollock JI. Longterm associations with infant feeding in a clinically advantaged population of babies (Hubungan jangka panjang pemberian makan pada populasi bayi dengan kondisi klinis baik). Dev Med Child Neur 1994;36:429-40

v Makrides M, Neumann MA, Byard RW, Simmer K, Gibson RA. Fatty acid composition of brain, retina and erythrocytes in breast and formula fed infants (Komposisi asam lemak pada otak, retina, dan eritrokit pada bayi yang mengkonsumsi ASI dan susu formula). Am J Clin Nutr 1994;60:189-94

v Anderson GJ, Connor WE, Corliss JD. Docosohexaenoic acid is the preferred dietary n-3 fatty acid for the development of the brain and retina (Asam dokosolexanoat sebagai asam lemak n-3 pilihan untuk perkembangan otak dan retina). Pediatr Res 1990;27:87-97

v Neuringer M, Connor WE, Lin DS, Barstad L, Luck S. Biochemical and functional effects of prenatal and postnatal fatty acid deficiency on retina and brain in rhesus monkeys (Pengaruh biokimia dan fungsional dari kekurangan asam lemak prenatal dan antenatal terhadap retina dan otak pada monyet resus). Proc Natl Acad Sc USA 1986;83:4021-5

v Florey C Du V, Leech AM, Blackhall A. Infant feeding and mental and motor development at 18 months of age in first born singletons (Makanan bayi dan perkembangan mental dan motorik pada usia 18 bulan pada anak pertama/sulung). Int J Epidem 1995;24 (Suppl 1):S21-6

v Wang YS, Wu SY. The effect of exclusive breastfeeding on development and incidence of infection in infants (Pengaruh menyusui eksklusif terhadap perkembangan dan kejadian infeksi pada bayi). JHL 1996;12:27-30

v Greene LC, Lucas A, Livingstone BE, Harland PSEG, Baker BA. Relationship between early diet and subsequent cognitive performance during adolescence (Hubungan antara makanan pertama dan performa kognitif pada remaja). Biochem Soc Trans 1995;23:376S

v Riva E, Agostoni C, Biasucci G, Trojan S, Luotti D, Fiori L, et al. Early breastfeeding is linked to higher intelligence quotient scores in dietary treated phenylketonuric children (Menyusu usia dini dihubungkan dengan tingkat kecerdasan lebih tinggi pada anak dengan diet khusus penyakit PKU). Acta Pædiatr 1996;85:56-8

v Niemelä A, Järvenpää A-L. Is breastfeeding beneficial and maternal smoking harmful to the cognitive development of children? (Apakah menyusui bermanfaat dan ibu merokok berbahaya bagi perkembangan kognitif anak?) Acta Pædiatr 1996;85:1202-6

v Rodgers B. Feeding in infancy and later ability and attainment: a longitudinal study (Pemberian makan pada bayi dan kemampuan dan pencapaian di masa depannya: Kajian longitudinal). Devel Med Child Neurol 1978;20:421-6

v Horwood LJ, Fergusson DM. Breastfeeding and later cognitive and academic outcomes (Menyusui dan pencapaian akademik dan kognitif di kemudian hari). Pediatrics 1998;101:p. e9

v Paine BJ, Makrides M, Gibson RA. Duration of breastfeeding and Bayley's mental developmental Index at 1 year of age (Durasi menyusui dan indeks perkembangan mental Bayley pada usia 1 tahun). J Paediatr Child Health 1999;35:82-5

v Fergusson DM, Beautrais AL, Silva PA. Breastfeeding and cognitive development In the first seven years of life (Menyusui dan perkembangan kognitif pada 7 tahun pertama). Soc Sci Med 1982;16:1705-8

v Vestergaard M, Obel C, Henriksen TB, Sørensen HT, Skajaa E, Østergaard J. Duration of breastfeeding and developmental milestones during the latter half of Infancy (Durasi menyusui dan tahapan perkembangan selama 6 bulan kedua usia bayi). Acta Paediatr 1999;88:1327-32

v Rao MR, Hediger ML, Levine RJ, Naficy AB, Vik T. Effect of breastfeeding on cognitive development of infants born small for gestational age (Pengaruh menyusui pada perkembangan kognitif bayi yang lahir kecil untuk usia gestasi). Acta Paediatr 2002;91:267-74

v Lanting CI, Fidler V, Huisman M, Touwen BCL, Boersma ER. Neurological differences between 9 year old children fed breastmilk or formula milk as babies (Perbedaan neurologis antara anak usia 9 tahun yang diberi ASI atau susu formula saat bayi). Lancet 1994;344:1319-22

v Lanting CI, Patandin S, Weisglas-Kuperus N, Touwen BCL, Boersma ER.Breastfeeding and neurological outcome at 42 months (Menyusui dan perkembangan syaraf pada usia 42 bulan). Acta Paediatr 1998;87:1224-9

4. Meningkatkan resiko infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)

v Anak-anak di Brazil yang tidak disusui/mendapatkan ASI beresiko 16,7 kali lebih tinggi terkena pneumonia dibandingkan anak-anak yang semasa bayinya disusui secara eksklusif. (Cesar JA, Victora CG, Barros FC, et al. Impact of breastfeeding on admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: Nested casecontrolled study. BMJ 318: 1316-1320, 1999)

v Untuk menentukan faktor-faktor resiko dalam mendeteksi ISPA pada balita, sebuah rumah sakit di India membandingkan 201 kasus dengan 311 kunjungan pemeriksaan. Menyusui adalah salah satu dari sekian faktor yang dapat menurunkan tingkat risiko ISPA pada balita. (Broor S, Pandey RM, Ghosh M, Maitreyi RS, Lodha R, Singhal T, Kabra SK. Risk factors for severe acute lower respiratory tract infection in under-five children. Indian Pediatr 38: 1361-1369, 2001)

v Beberapa sumber yang digunakan untuk meneliti hubungan antara menyusui dan resiko ISPA pada bayi yang lahir cukup bulan. Analisis dari data-data yang diteliti menunjukkan pada negara-negara berkembang, bayi yang diberikan susu formula mengalami 3 kali lebih sering gangguan pernafasan yang membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit, dibandingkan dengan bayi yang diberikan ASI eksklusif selama 4 bulan atau lebih. (Bachrach VRG, Schwarz E, Bachrach LR. Breastfeeding and the risk of hospitalization for respiratory disease in infancy. Arch Pediatr Adolesc Med. 157: 237-243, 2003)

v Pullan CR, Toms GL, Martin AJ, Gardner PS, Webb JKG, Appleton DR. Breastfeeding and respiratory syncytial virus infection (Menyusui dan kejadian infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). Br Med J 1980;281:1034-6

v Chiba Y, Minagawa T, Mito K, Nakane A, Suga K, Honjo T, Nakao T. Effect of breastfeeding on responses of systemic interferon and virus-specific lymphocyte transformation with respiratory syncytial virus infection (Pengaruh menyusui pada respon interferon sistemik dan transformasi spesifik-virus limfosit dengan infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). J Med Virology 1987;21:7-14

v Wright AL, Holberg CJ, Martinez FD, Morgan WJ, Taussig LM. Breastfeeding and lower respiratory tract illness in the first year of life (Menyusui dan penyakit saluran pernapasan bagian bawah pada usia 1 tahun). Br Med J 1989;299:946-9

v Pisacane A, Graziano L, Zona G, Granata G, Dolezalova H, Cafiero M, et al. Breastfeeding and acute lower respiratory infection (Menyusui dan infeksi saluran pernapasan bagian bawah akut). Acta Pædiatr 1994;83:714-18

v Beaudry M, Dufour R, Marcoux S. Relation between infant feeding and infections during the first six months of life (Hubungan antara pemberian makan pada bayi dan infeksi selama 6 bulan pertama kehidupan). J Pediatr 1995;126:191-7

v Okamoto Y, Ogra PL. Antiviral factors in human milk: implications in respiratory syncytial virus infection (Faktor antivirus dalam susu manusia: implikasi terhadap infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). Acta Pædiatr Scand Suppl 1989;351:137-43

v Downham MAPS, Scott R, Sims DG, Webb JKG, Gardner PS. Breastfeeding protects against respiratory syncytial virus infections (Menyusui memberikan perlindungan terhadap infeksi virus syncytial pada saluran pernapasan). Br Med J 1976;2:274-6

v Yue Chen. Synergistic effect of passive smoking and artificial feeding on hospitalization for respiratory illness in early childhood (Pengaruh sinergis dari merokok pasif dan pemberian pengganti air susu ibu terhadap kejadian penyakit saluran pernapasan selama masa kanak-kanak). Chest 1989;95:1004-07

v Wilson AC, Forsyth JS, Greene SA, Irvine L, Hau C, Howie PW. Relation of infant diet to childhood health: seven year follow-up of cohort of children in Dundee infant feeding study (Hubungan antara asupan bayi dengan kesehatan masa kanak-kanak: tindak lanjut tujuh tahun setelahnya atas anak-anak pada kajian pemberian makan bayi di Dundee). Br Med J 1998;316:21-5 (hasil penelitian juga menunjukkan tekanan darah yang lebih tinggi pada anak-anak yang diberikan susu formula)

v César JA, Victora CG, Barros FC, Santos IS, Flores JA. Impact of breastfeeding on admission for pneumonia during postneonatal period in Brazil: nested case-control study (Pengaruh menyusui terhadap resiko pneumonia selama periode pasca-neonatal di Brazil: studi kontrol-kasus tersarang). Br Med J 1999;318:1316-20

v Pisacane A, Impagliazzo N, De Caprio C, Criscuolo L, Inglese A, da Silva MCMP. Breastfeeding and tonsillectomy (Menyusui dan tonsilektomi). BMJ. 1996 Mar 23;312(7033):746-7

v López-Alarcón M, Villalpando S, Fajardo A. Breastfeeding lowers the frequency and duration of acute respiratory infection and diarrhea in infants under 6 months of age (Menyusui dapat mengurangi frekuensi dan durasi infeksi saluran pernapasan akut dan diare pada bayi di bawah 6 bulan). J Nutr 1997;127:436-43

5. Meningkatkan resiko oklusi gigi pada anak

v Salah satu keuntungan menyusui adalah membuat gigi anak tumbuh rapih dan teratur. Penelitian yang dilakukan pada 1.130 balita (usia 3-5 tahun) untuk mengetahui dampak dari tipe pemberikan makanan dan aktivitas menghisap yang tidak tepat terhadap pertumbuhan gigi yang kurang baik. Aktivitas menghisap yang kurang baik (menghisap botol) memberikan dampak yang substansial pada kerusakan gigi/oklusi gigi pada anak. Terjadinya ”posterior cross-bite” pada gigi anak lebih banyak ditemukan pada anak-anak yang menggunakan botol susu serta anak-anak yang suka ‘mengempeng’. Persentase terkena cross-bite pada anak ASI yang menyusu langsung 13% lebih kecil dibandingkan mereka yang menyusu dari botol. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa semakin awal bayi menyusu dari botol dua kali lebih besar besar terkena risiko maloklusi/kerusakan pada gigi dibandingkan bayi yang menyusu langsung/tidak menyusu dari botol. (Viggiano D. et al. Breast feeding, bottle feeding, and non-nutritive sucking; effects on occlusion in deciduous dentition. Arch Dis Child 89:1121-1123, 2004)

v Labbock MH, Hendershot GE. Does breastfeeding protect against malocclusion? An analysis of the 1981 child health supplement to the national health interview survey (Apakah menyusui melindungi dari maloklusi? Sebuah analisis pada 1981 suplemen kesehatan anak untuk survei wawancara kesehatan nasional). Am J Prev Med 1987;3:227-32

v Palmer B. The influence of breastfeeding on the development of the oral cavity: A commentary (Pengaruh menyusui terhadap perkembangan rongga mulut: suatu komentar). J Hum Lact 1998;14:93-8

v Erickson PR, Mazhari E. Investigation of the role of human breastmilk in caries development (Penelitian terhadap peranan air susu ibu pada perkembangan karies). Pediatr Dent 1999;21:86-90

6. Meningkatkan resiko infeksi dari susu formula yang terkontaminasi

v Pada kasus tercemarnya susu formula dengan Enterobacter Sakazakii di Belgia, ditemukan 12 bayi yang menderita Necrotizing Enetrocolitis (NEC) dan 2 bayi yang meninggal setelah mengkonsumsi susu formula yang tercemar bakteri tersebut. (Van Acker J, de Smet F, Muyldermans G, Bougatef A. Naessens A, Lauwers S. Outbreak of necrotizing enterocolitis associated with Enterobactersakazakii in powdered infant formulas. J Clin Microbiol 39: 293-297, 2001)

v Sebuah kasus di Amerika Serikat menyebutkan bahwa seorang bayi berusia 20 hari meninggal dunia karena menderita panas, tachyardia¸dan mengalami penurunan fungsi pembuluh darah setelah diberikan susu formula yang tercemar bakteri E-Sakazakii di NICU. (Weir E, Powdered infant formula and fatal infection with Enterobacter sakazakii. CMAJ 166, 2002)

v Koo WWK, Kaplan LA, Krug-Wispe SK. Aluminum contamination of infant formulas (Kontaminasi aluminium pada susu formula bayi). J Parenteral Enteral Nutrition 1988;12:170-3

v Davidsson L, Cederblad Å, Lönnerdal B, Sandström B. Manganese absorption from human milk, cow's milk and infant formulas in humans (Penyerapan mangan dari air susu ibu, susu sapi dan susu formula bayi pada manusia). Am J Dis Child 1989;143:823-7

v Dabeka RW, McKenzie AD. Lead and cadmium levels in commercial infant foods and dietary intake by infants 0-1 year old (Tingkat logam dan kadmium pada makanan bayi komersil dan asupan pada bayi 0-1 tahun). Food Additives and Contaminants 1988;5:333-42

v Mytjens HL, Roelofs-Willemse H, Jaspar GHJ. Quality of powdered substitutes for breastmilk with regard to members of the family Enterobacteriaceæ (Kualitas bubuk pengganti susu ibu berkaitan dengan famili Enterobactericea). J Clin Microbiol 1988;26:743-6

v Biering G, Karlsson S, Clark NC, Jonsdottir KE, Ludvigsson P, Steingrimsson O. Three cases of neonatal meningitis caused by Enterobacter sakazakii in powdered milk (Tiga kasus meningitis neonatal yang disebabkan oleh Enterobacter sakazakii pada susu bubuk). J Clin Microbiol 1989;27:2054-6

v Westin JB. Ingestion of carcinogenic N-nitrosamines by infants and children (Penyerapan bahan karsinogenik N-nitrosamina oleh bayi dan anak-anak). Arch Environmental Health 1990;45:359-63

v Schwarz KB, Cox JM, Sharma S, Clement L, Witter F, Abbey H, et al. Prooxidant effects of maternal smoking and formula In newborn Infants (Pengaruh prooksidan dari ibu merokok dan susu formula pada bayi baru lahir). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1997;24:68-74

7. Meningkatkan resiko kurang gizi/gizi buruk

v Pada tahun 2003 ditemukan bayi yang mengkonsumsi susu formula berbahan dasar kedelai di Israel harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit akibat encephalopathy. Dua diantaranya meninggal akibat cardiomyopathy. Analisis dari kasus ini menyebutkan bahwa tingkat tiamin pada susu formula tidak dapat diidentifikasikan. Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula berbasis kedelai sering ditemukan gejala kekurangan tiamin, yang harus ditangani oleh terapi tiamin. (Fattal-Valevski A, Kesler A, Seal B, Nitzan-Kaluski D, Rotstein M, Mestermen R, Tolendano-Alhadef H, Stolovitch C, Hoffman C. Globus O, Eshel G. Outbreak of Life-Threatening Thiamine Deficiency in Infants in Israel Caused by a Defective Soy-Based Formula. Pediatrics 115: 223-238, 2005)

8. Meningkatkan resiko kanker pada anak

v Pusat Studi Kanker Anak di Inggris melakukan penelitian terhadap 3.500 kasus kanker anak dan hubungannya dengan menyusui. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengurangan tingkat resiko terkena leukemia dan kanker lain apabila seorang anak memperoleh ASI ketika bayi. (UK Childhood Cancer Investigators. Breastfeeding and Childhood Cancer. Br J Cancer 85: 1685-1694, 2001)

v Studi pada 117 kasus acute lymphotic leukemia yang dilakukan di United Arab Emirates menunjukkan bahwa menyusui secara eksklusif selama 6 bulan atau lebih akan meminimalkan resiko terkena kanker leukemia dan lymphoma (getah bening) pada anak. (Bener A, Denic S, Galadari S. Longer breast-feeding and protection against childhood leukaemia and lymphomas. Eur J Cancer 37: 234-238, 2001)

v Tidak menyusui adalah salah satu penyebab terbesar kanker pada ibu. Suatu penelitian mengemukakan tingkat kerusakan genetis yang signifikan pada bayi usia 9-12 bulan yang sama sekali tidak disusui. Para peneliti menyimpulkan bahwa kerusakan genetis berperan penting dalam pembentukan kanker pada anak atau setelah anak-anak tsb tumbuh dewasa. (Dundaroz R, Aydin HA, Ulucan H, Baltac V, Denli M, Gokcay E. Preliminary study on DNA in non-breastfed infants. Ped Internat 44: 127-130, 2002)

v Sebuah penelitian yang menggunakan bukti-bukti atas dampak menyusui pada risiko terkena leukemia mempelajari 111 kasus yang 32 diantaranya mengemukakan hal tersebut. Dari 32 kasus ini dipelajari 10 kasus utama dan ditemukan 4 kasus yang mengemukakan hubungan antara menyusui dan leukemia. Kesimpulan yang diambil adalah: semakin lama menyusui/memberikan ASI pada bayi, semakin kecil risiko terkena leukemia. Mereka mencatat, diperlukan dana sebesar USD 1,4M tiap tahunnya untuk mengobati anak-anak yang terkena leukemia. (Guise JM et al. Review of case-controlled studies related to breastfeeding and reduced risk of childhood leukemia. Pediatrics 116: 724-731, 2005)

v Schwartzbaum JA, George SL, Pratt CB, Davis B. An exploratory study of environmental and medical factors potentially related to childhood cancer (Studi terhadap faktor lingkungan dan medis yang potensial berhubungan dengan kanker pada anak-anak). Med pediatr Oncol 1991;19:115-21

v Davis MK, Savitz DA. Graubard BI. Infant feeding and childhood cancer (Pemberian makanan pada bayi dan kanker pada masa kanak-kanak). Lancet 1988;2:365-8

v Freudenheim JL, Marshall JR, Graham S, Laughlin R, Vena JE, Bandera E, et al. Exposure to breastmilk in infancy and the risk of breast cancer (Pemberian air susu pada bayi dan resiko kanker payudara). Epidemiology 1994;5:324-31

v Shu XO, Linet MS, Steinbuch M, Wen WQ, Buckley JD, Neglia JP, Potter JD et al. Breastfeeding and the risk of childhood acute leukemia (Menyusui dan resiko leukemia akut pada anak-anak). J Nat Cancer Institute 1999;91:1765-72

v Davis MK. Review of the evidence for an association between Infant feeding and childhood cancer (Kajian terhadap bukti adanya hubungan antara pemberian makan pada bayi dan kanker pada masa kanak-kanak). Int J Cancer 1998;Supplement II:29-33

9. Meningkatkan resiko penyakit kronis

v Penyakit kronis dapat dipicu oleh respon auto-imun tubuh anak ketika mengkonsumsi makanan yang mengandung protein gluten. Ivarsson dan tim-nya melakukan penelitian terhadap pola menyusui 627 anak yang terkena penyakit kronis dan 1.254 anak sehat untuk melihat dampak menyusui pada konsumsi makanan yang mengandung protein gluten serta resiko terkena penyakit kronis. Secara mengejutkan ditemukan bukti bahwa 40% anak-anak bawah umur dua tahun (baduta) yang disusui/mendapatkan ASI berisiko lebih kecil terhadap penyakit kronis, walaupun mengkonsumsi makanan yang mengandung protein gluten. (Ivarsson, A. et al. Breast-Feeding May Protect Against Celiac Disease Am J Clin Nutr 75:914-921, 2002)

v Rasa terbakar pada saat BAB dan penyakit Crohn adalah penyakit gastrointestinal kronis yang sering terjadi pada bayi susu formula. Suatu meta-analisis pada 17 kasus yang mendukung hipotesis bahwa menyusui mengurangi resiko penyakit Crohn dan ulcerative colitis. (Klement E, Cohen RV, Boxman V, Joseph A, Reif s. Breastfeeding and risk of inflammatory bowel disease: a systematic review with meta-analysis. Am J Clin Nutr 80: 1342-1352, 2004)

v Untuk memperjelas dampak dari pemberian MPASI yang terlalu dini (contoh: dampak dari menyusui dibandingkan tidak menyusui; lama menyusui; dampak menyusui dan hubungannya dengan pemberian makanan yang mengandung protein gluten) pada resiko penyakit kronis, para peneliti melihat kembali literatur tentang menyusui dan penyakit kronis. Mereka menemukan bahwa anak-anak yang menderita penyakit kronis hanya mendapatkan ASI/disusui dalam jangka waktu pendek. Sementara anak-anak yang disusui lebih lama resiko terkena penyakit kronis ini 52% lebih rendah. Para peneliti mendefinisikan 2 mekanisme perlindungan yang diberikan ASI, yaitu: (1) melanjutkan pemberian ASI/menyusui menghambat penyerapan gluten pada tubuh, (2) ASI melindungi tubuh dari infeksi intestinal. Infeksi dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh bayi sehingga gluten dapat masuk ke dalam lamina propria. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa IgA dapat menurunkan respon antibody terhadap gluten yang dicerna. (Akobeng A K et al. Effects of breast feeding on risk of coeliac disease: a systematic review and meta-analysis of observational studies. Arch DisChild 91: 39-43, 2006)

10. Meningkatkan resiko diabetes

v Untuk memastikan hubungan antara konsumsi susu sapi (dan susu formula bayi berbahan dasar susu sapi) dan respon antibodi bayi pada protein susu sapi, peneliti di Italia mengukur respon antibodi pada 16 bayi ASI dan 12 bayi usia 4 bulan yang mengkonsumsi susu formula. Bayi susu formula meningkatkan antibodi beta-casein yang bisa menyebabkan diabetes type 1, dibandingkan dengan bayi ASI. Para peneliti tersebut menyimpulkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif sekurangnya 4 bulan beresiko lebih rendah terhadap diabetes type 1, karena ASI dapat mencegah pembentukan anti-bodi beta-casein. (Monetini L, Cavallo MG, Stefanini L, Ferrazzoli F, Bizzarri C, Marietti G, Curro V, Cervoni M, Pozzilli P, IMDIAB Group. Bovine beta-casein antibodies in breast-and bottle-fed infants: their relevance in Type 1 diabetes. Hormone Metab Res 34: 455-459, 2002)

v Studi yang dilakukan pada 46 suku Indian Kanada yang menderita diabetes tipe II dicocokkan dengan 92 jenis control penyakit diabetes. Kemudian dibandingkanlah resiko pre dan post-natal dari suku Indian yang disusui dan yang tidak disusui. Menariknya, ditemukan suatu fakta baru bahwa ASI dapat menurunkan resiko terkena penyakit diabetes tipe II. (Young TK, Martens PJ, Taback SP, Sellers EA, Dean HJ, Cheang M, Flett B. Type 2 diabetes mellitus in children: prenatal and early infancy risk factors among native Canadians. Arch Pediatr Adolesc Med 156: 651-655, 2002)

v Penggunaan susu formula, makanan pengganti ASI dan susu sapi yang lebih dini pada bayi, adalah factor-faktor yang meningkatkan kemungkinan terkena diabetes tipe I ketika dewasa. Sebayak 517 anak Swedia dan 286 anak Lithuania usia 15 tahun yang didiagnosa menderita penyakit diabetes tipe I dibandingkan dengan pasien non-diabets. Hasil penelitian menunjukkan bahwa memberikan ASI secara eksklusif sekurangnya 5 bulan dan dilanjutkan sampai usia 7 atau 9 bulan (dengan MP-ASI) dapat mengurangi resiko terkena diabetes. (Sadauskaite-Kuehne V, Ludvigsson J, Padaiga Z, Jasinskiene E, Samuel U. Longer breastfeeding is an independent protective factor against development of type I diabetes mellitus in childhood. Diabet Metab Res Rev 20: 150-157, 2004)

v Data yang didapatkan dari 868 anak penderita diabetes asal Cekoslovakia dan 1466 kunjungan dar pasien yang terkena diabetes, mengkonfirmasi bahwa resiko terkena diabetes tipe I dapat dikurangi dengan memperpanjang lama/periode menyusui. Menyusui bayi selama 12 bulan atau lebih mengurangi risiko terkena diabetes tipe I secara signifikan. (Malcove H et al. Absence of breast-feeding is associated with the risk of type 1 diabetes: a case-control study in a population with rapidly increasing incidence. Eur J Pediatr 165: 114-119, 2005)

v Working Group on Cow's Milk Protein and Diabetes Mellitus of the American Academy of Pediatrics. Infant feeding practices and their possible relationship to the etiology of diabetes mellitus (Kelompok kerja AAP: untuk protein susu sapi dan diabetes melitus. Praktek pemberian makan pada bayi dan kemungkinan hubungan dengan etiologi diabetes melitus). Pediatrics 1994;94:752-4

v Karjalainen J, Martin JM, Knip M, Ilonen J, Robinson BH, Savilahti E, et al. A bovine albumin peptide as a possible trigger of insulin-dependent diabetes mellitus (Kemungkinan peptida albumin sapi sebagai pencetus diabetes melitus ketergantungan insulin). N Eng J Med 1992;327:302-7 (Editorial: 1992:327:348-9)

v Mayer EJ, Hamman RF, Gay EC, Lezotte DC, Savitz DA, Klingensmith J. Reduced risk of IDDM among breastfed children (Penurunan resiko diabetes melitus ketergantungan insulin pada bayi yang disusui). Diabetes 1988;37:1625-32

v Virtanen SM, Räsänen L, Ylönen K, Aro A, Clayton D, Langlholz B, et al. Early introduction of dairy products associated with increased risk of IDDM in Finnish children (Pengenalan awal produk susu dihubungkan dengan meningkatnya resiko diabetes melitus ketergantungan insulin pada anak-anak Finlandia). Diabetes 1993;42:1786-90

v Virtanen SM, Räsänen L, Aro A, Lindström J, Sippola H, Lounamaa R, et al. Infant feeding in Finnish children <7>

v Gerstein HC. Cow's milk exposure and type I diabetes mellitus (Pemberian susu sapi dan diabetes melitus tipe 1). Diabetes Care 1994;17:13-9

v Kostraba JN, Cruickshanks KJ, Lawler-Heavner J, Jobim LF, Rewers MJ, Gay EC, et al. Early exposure to cow's milk and solid foods in infancy, genetic predisposition, and risk of IDDM (Pemberian dini susu sapi dan makanan padat, sifat genetik bawaan, dan resiko diabetes melitus ketergantungan insulin). Diabetes 1993;42:288-95

v Pérez-Bravo F, Carrasco E, Gutierrez-López MD, Martínez MT, López G, García de los Rios M. Genetic predisposition and environmental factors leading to the development of insulin-dependent diabetes mellitus in Chilean children (Sifat genetik bawaan dan faktor lingkungan berakibat pada perkembangan diabetes melitus ketergantungan insulin pada anak-anak Chile). J Mol Med 1996;74:105-9

v Gimeno SGA, De Souza JMP. IDDM and milk consumption (Diabetes melitus ketergantungan insulin dan konsumsi susu). Diabetes Care 1997;20:1256-60

v Hammond-McKibbon D, Karges W, Gaedigk R, Dosch H-M. Immunological mechanisms that link cow milk protein and insulin dependent diabetes: a synopsis (Sinopsis: Mekanisme immunologis yang menghubungi protein susu sapi dan diabetes ketergantungan insulin). Can J Allergy and Clin Immunol 1997;2:136-46

v Shehadeh N. Gelertner L, Blazer S, Perlman R, Solovachik L, Etzioni A. Importance of insulin content in infant diet: suggestion for a new infant formula (Pentingnya kandungan insulin dalam diet bayi: saran bagi formula baru untuk bayi). Acta Paediatrica 2001;90:93

v Høst A. Importance of the first meal on the development of cow's milk allergy and intolerance (Pentingnya makanan pertama pada perkembangan alergi dan intoleransi susu sapi). Allergy Proc 1991;12:227-32

11. Meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular

v Untuk mempertegas hubungan antara gizi bagi bayi dengan resiko kesehatan setelah dewasa, peneliti dari Inggris mengukur tekanan darah pada sampel 216 remaja usia 13 sampai 16 tahun yang lahir prematur. Mereka yang mengkonsumsi susu formula pada awal kehidupannya memiliki tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang mendapatkan ASI ketika bayi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pada bayi yang lahir prematur maupun cukup bulan, ASI dapat mengendalikan tekanan darah pada batas normal sampai mereka tumbuh dewasa. (Singhal A, Cole TJ, Lucas A. Early nutrition in preterm infants and later blood pressure: two cohorts after randomized trials. The Lancet 357: 413-419, 2001)

v Sebuah penelitian di UK mengevaluasi tingkat kolesterol pada 1.500 anak dan remaja usia 13-16 tahun dan menyimpulkan bahwa ASI mencegah penyakit kardiovaskular karena dapat mengurangi kadar total kolesterol dan kadar LDL (low-density lipid cholesterol). Hasil penelitian ini menyebutkan, bayi yang memperoleh ASI terbukti dapat mengendalikan metabolisme pengolahan lemak di tubuh dengan baik, yang menyebabkan kadar kolesterol yang rendah dan menghindarkan dari resiko penyakit kardiovaskular. (Owen GC, Whipcup PH, Odoki JA, Cook DG. Infant feeding and blood cholesterol: a study in adolescents and systematic review. Pediatrics 110:597-608, 2002)

v Sebuah studi di Inggris yang meneliti 4.763 anak-anak usia 7,5 tahun menyebutkan bahwa anak-anak berusia 7 tahun dan tidak pernah mendapatkan ASI memiliki kecenderungan tekanan systolic dan diastolic yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak yang mendapatkan ASI semasa bayinya. Ada pengurangan sebesar 0.2mmHg setiap 3 bulan apabila anak mendapatkan ASI eksklusif. Para peneliti menyarankan pemberian ASI eksklusif sekurangnya 3 bulan, karena terbukti dapat mengurangi 1% populasi orang-orang yang menderita penyakit tenakan darah tinggi, dan mengurangi 1,5% tingkat kematian penduduk karena darah tinggi. (Martin RM, Ness AR, Gunnelle D, Emmet P, Smith GD. Does breast-feeding in infancy lower blood pressure in childhood? Circulation 109: 1259-1266, 2004)

v Osborn GR. Stages in development of coronary disease observed from 1,500 young subjects. Relationship of hypotension and infant feeding to ætiology (Tahapan perkembangan penyakit koroner diobservasi dari 1500 orang remaja. Hubungan antara hipotensi dan pemberian makanan pada bayi terhadap etiologi). Watson Smith Lecture, delivered to the Royal College of Physicians of London, January 11, 1965

v Bergström E, Hernell O, Persson LÅ, Vessby B. Serum lipid values in adolescents are related to family history, infant feeding, and physical growth (Nilai lipid serum pada remaja dihubungkan dengan riwayat keluarga, pemberian makanan pada bayi, dan pertumbuhan fisik). Atherosclerosis 1995;117:1-13

v Routi T, Rönnemaa T, Lapinleimu H, Salo P, Viikari J, Leino A, et al. Effect of weaning on serum lipoprotein (a) concentration: the STRIP baby study (Pengaruh penyapihan pada konsentrasi lipoprotein serum (a): studi bayi STRIP). Pediatric Research 1995;38:522-27

v Singhal A, Cole T, Lucas A. Early nutrition in preterm infants and later blood pressure: two cohorts after randomised trials (Nutrisi awal pada bayi prematur dan tekanan darah dikemudian hari: dua kelompok populasi setelah studi acak). Lancet 2001;357:413-9

12. Meningkatkan resiko obesitas

v Untuk menentukan dampak pemberian makanan bayi pada obesitas masa kanak-kanak, studi besar di Skotlandia meneliti indeks massa tubuh dari 32.200 anak usia 39-42 bulan. Setelah eliminasi faktor-faktor yang bias, status sosial ekonomi, berat lahir dan jenis kelamin, prevalensi obesitas secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak diberi susu formula, mengarah pada kesimpulan bahwa pemberian susu formula terkait dengan peningkatan risiko obesitas. (Armstrong, J. et al. Breastfeeding and lowering the risk of childhood obesity. Lancet 359:2003-2004, 2002)

v Dalam rangka untuk menentukan faktor yang terkait dengan pengembangan kelebihan berat badan dan obesitas, 6.650 anak-anak usia sekolah di Jerman yang berusia antara lima sampai 14 tahun diperiksa. Mengkonsumsi ASI ditemukan sebagai pelindung terhadap obesitas. Efek perlindungan ini lebih besar pada bayi yang secara eksklusif disusui ASI. (Frye C, Heinrich J. Trend and predictors of overweight and obesity in East German children. Int J Obesitas 27: 963-969, 2003)

v Tindak lanjut aktif dari 855 pasang ibu dan bayi di Jerman digunakan untuk menentukan hubungan antara tidak menyusui dan peningkatan risiko kelebihan berat badan dan obesitas. Setelah dua tahun tindak lanjut, 8,4 persen dari anak-anak kelebihan berat badan dan 2,8 persen sangat kelebihan berat badan: 8,9 persen tidak pernah disusui, sementara 62,3 persen disusui selama paling sedikit enam bulan.

Anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif lebih dari tiga bulan dan kurang dari enam bulan memiliki 20 persen pengurangan resiko, sementara mereka yang telah ASI eksklusif selama paling sedikit enam bulan memiliki 60 persen pengurangan resiko untuk menjadi gemuk dibandingkan kepada mereka yang diberi susu formula. (Weyerman M et al. Duration of breastfeeding and risk of overweight in childhood: a prospective birth cohort study from Germany. Int J Obes muka publikasi online 28 Februari 2006)

v Kramer MS. Do breastfeeding and delayed introduction of solid foods protect against subsequent obesity? (Apakah menyusui dan penundaan pengenalan makanan padat dapat melindungi dari obesitas di kemudian hari?) J Pediatr 1981;98:883-7

v Von Kries R, Sauerwald T, von Mutius E, Barnert D, Grunert V, von Voss H. Breastfeeding and obesity: cross sectional study (Menyusui dan obesitas: studi silang seksional). Br Med J 1999;319:147-50

v Tulldahl J, Pettersson K, Andersson SW, Hulthén. Mode of Infant feeding and achieved growth In adolescence: early feeding patterns In relation to growth and body composition In adolescence (Cara pemberian makanan pada bayi dan pencapaian pertumbuhan pada remaja: pola pemberian makanan awal dihubungkan dengan pertumbuhan dan komposisi tubuh pada saat remaja). Obesity Research 1999;7:431-7

v Gillman MW, Rifas-Shiman SL, Camargo CA, Berkey CS, Frasier AL, Rockett HRH, et al. Risk of overweight among adolescents who were breastfed as infants (Resiko kelebihan berat badan diantara remaja yang disusui saat bayi). J Am Med Assoc 2001;285:2461-7 (Editorial by WH Dietz, 2506-7)

13. Meningkatkan resiko infeksi saluran pencernaan

v Tujuh ratus tujuh puluh enam bayi dari New Brunswick, Kanada, diteliti untuk mengetahui hubungan antara pernapasan dan penyakit gastrointestinal dengan menyusui selama enam bulan pertama kehidupan. Meskipun angka pemberian ASI ekslusif rendah, hasil menunjukkan efek perlindungan yang signifikan terhadap total penyakit selama enam bulan pertama kehidupan. Bagi mereka yang disusui ASI , insidensi infeksi gastrointestinal adalah 47 per persen lebih rendah; tingkat penyakit pernapasan adalah 34 persen lebih rendah daripada mereka yang tidak disusui. (Beaudry M, Dufour R, S. Marcoux. Relationship between infant feeding and infections during the first six months of life. J Pediatr 126: 191-197, 1995)

v Perbandingan antara bayi yang menerima ASI terutama selama 12 bulan pertama kehidupan dan bayi yang secara eksklusif diberikan susu formula atau disusui ASI selama selama tiga bulan atau kurang, menemukan bahwa penyakit diare dua kali lebih tinggi untuk bayi yang diberikan susu formula dibandingkan mereka yang disusui ASI. (Dewey KG, Heinig MJ, Nommsen-Rivers LA. Differences in morbidity between breast-fed and formula-fed infants. J Pediatr 126: 696-702, 1995)

v Dukungan menyusui di Belarus secara signifikan mengurangi insiden infeksi gastrointestinal sampai dengan 40 persen. (Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, et al. Promotion of Breastfeeding Intervention Trial (PROBIT): a randomized trial in the Republic of Belarus. JAMA 285: 413-420, 2001)

v Koletzko S, Sherman P, Corey M, Griffiths A, Smith C. Role of infant feeding practices in the developement of Crohn's disease in childhood (Peranan praktek pemberian makanan terhadap perkembangan penyakit Crohn pada masa kanak-kanak). Br Med J 1989;298:1617-8

v Greco L, Auricchio S, Mayer M, Grimaldi M. Case control study on nutritional risk factors in celiac disease (Studi kasus pada faktor-faktor resiko nutrisi pada penyakit celiac). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1988;7:395-8

v Duffy LC, Byers TE, Riepenhoff-Talty M, La Scolea L, Zielezny M, Ogra PL. The effects of infant feeding on rotavirus-induced gastroenteritis (Pengaruh pemberian makan pada gastroenteritis yang disebabkan oleh rotavirus). A prospective study. Am J Pub Health 1986;76:259-63

v Hanson LA, Lindquist B, Hofvander Y, Zetterstrom R. Breastfeeding as a protection against gastroenteritis and other infections (Menyusui sebagai perlindungan terhadap gastroenteritis dan infeksi lainnya). Acta Pediatr Scand 1985;74:641-2

v Ruiz-Palacios GM, Calva JJ, Pickering LK, Lopez-Vidal Y, Volkow P, Pezzarossi H, et al. Protection of breastfed infants against Campylobacter diarrhea by antibodies in human milk (Perlindungan pada bayi yang disusui terhadap diare Campylobacter dari antibodi dalam air susu ibu). J Pediatr 1990;116:707-13

v Cruz JR, Gil L, Cano F, Caceres P, Pareja G. Breastmilk anti-Escherichia coli heat labile toxin IgA antibodies protect against toxin-induced infantile diarrhea (Anti-Escherichia coli dalam air susu melumpuhkan racun antibodi IgA melindungi dari diare yang disebabkan oleh racun). Acta Pediatr Scand 1988;77:658-62

v Gillin FD, Reiner DS, Wang C-S. Human milk kills parasitic intestinal protozoa (Susu manusia membunuh protozoa parasit dalam saluran pencernaan). Science 1983;221:1290-2

v France GL, Marmer DJ, Steele RW. Breastfeeding and Salmonella infection (Menyusui dan infeksi Salmonella). Am J Dis Child 1980;134:147-52

v Haffejee IE. Cow's milk-based formula, human milk and soya feeds in acute infantile diarrhea: A therapeutic trial (Pemberian formula berbasis susu sapi, susu manusia dan susu kedelai pada diare akut pada bayi: Percobaan terapi). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1990;10:193-8

v Lerman Y, Slepon R, Cohen D. Epidemiology of acute diarrheal diseases in children in a high standard of living rural settlement in Israel (Epidemiologis dari penyakit diare akut pada anak-anak yang tinggal dalam suatu lingkungan perumahan standar tinggi di Israel). Pediatr Infect Dis J. 1994;13:116-22

v Howie PW, Forsyth JS, Ogston SA, Clark A, Du V Florey C. Protective effect of breastfeeding against infection (Efek perlindungan dari menyusui terhadap penyakit infeksi). Br Med J 1990;300:11-6

v Duffy LC, Riepenhoff-Talty M, Byers TE, La Scolea LJ, Zielezny MA, Dryja DM et al. Modulation of rotavirum enteritis during breastfeeding (Modulasi rotavirum enteritis selama masa menyusui). Am J Dis Child 1986;140:1164-8

v Haddock RL, Cousens SN, Guzman CC. Infant diet and salmonellosis (Pola makan anak dan salmonelosis). Am J Pub Health 1991;81:997-1000

v Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity and the extent of breastfeeding in the United States (Suatu analisis longitudal terhadap tingkat kematian anak dan pengaruh menyusui di Amerika Serikat). Pediatrics 1997;99, June 1997;e5 (juga berlaku untuk otitis media)

v Heacock HJ, Jeffery HE, BAker JL, Page M. Influence of breast versus formula milk on physiological gastroesophageal reflux In healthy, newborn Infants (Pengaruh air susu ibu dan susu formula terhadap refluks fisiologis gastroesofageal pada bayi sehat baru lahir). J Pediatr Gastroenterol Nutr 1992:14:41-6

v Kramer MS, Chalmers B, Hodnett ED, Sevkovskaya Z, Dzikovich I, Shapiro S, et al. Promotion of breastfeeding intervention trial (Peningkatan percobaan intervensi menyusui). JAMA 2001;285:413-20

v MacFarlane PI, Miller V. Human milk in the management of protracted diarrhœa of infancy (Susu manusia dalam manajemen diare berkepanjangan pada bayi). Arch Dis Child 1984;59, 260-65

14.Meningkatkan resiko kematian

v Dibandingkan dengan pemberian ASI eksklusif, anak-anak yang sebagian disusui ASI memiliki 4,2 kali peningkatan risiko kematian karena untuk penyakit diare. Tidak disusui dikaitkan dengan 14,2 kali peningkatan risiko kematian akibat penyakit diare pada anak-anak di Brazil. (Victora CG, Smith PG, Patrick J, et al. Infant feeding and deaths due to diarrhea: a case-controlled study. Amer J Epidemiol 129: 1032-1041, 1989)

v Bayi di Bangladesh yang disusui secara sebagian atau tidak disusui sama sekali, memiliki resiko kematian 2,4 kali lebih besar akibat infeksi saluran pernafasan akut dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Pada anak-anak yang mendapatkan campuran lebih banyak ASI dibandingkan susu formula, resiko kematian karena pernapasan akut infeksi yang sama dengan anak-anak ASI eksklusif. (Arifeen S, Black RE, Atbeknab G, Baqui A, Caulfield L, Becker S, Exclusive breastfeeding reduces acute respiratory infenction and diarrhea deaths among infants in Dhaka slums. Pediatrics 108: e67, 2001)

v Para peneliti meneliti 1.204 bayi yang meninggal antara 28 hari dan satu tahun dari penyebab selain dari anomali bawaan atau tumor ganas dan 7.740 anak-anak yang masih hidup di satu tahun untuk menghitung angka kematian dan apakah bayi tersebut mendapatkan ASI serta efek durasi-respons. Anak-anak yang tidak pernah disusui memiliki 21 persen lebih besar resiko kematian dalam periode pasca-neonatal daripada mereka yang disusui. Semakin lama disusui, semakin rendah resikonya. Mendukung kegiatan menyusui memiliki potensi untuk mengurangi sekitar 720 kematian pasca-neonatal di Amerika Serikat setiap tahun. Di Kanada ini akan mengurangi sekitar 72 kematian. (Chen A, Rogan WJ. Breastfeeding and the risk of postneonatal death in the United States. Pediatrics 113: 435-439, 2004)

v Penelitian penting dari Ghana dirancang untuk mengevaluasi apakah waktu yang tepat untuk inisiasi menyusui dan praktek menyusui berhubungan dengan resiko kematian bayi. Studi ini melibatkan 10.947 bayi yang selamat melewati hari kedua dan yang ibunya dikunjungi selama periode neonatal. Menyusui dimulai pada hari pertama pada 71 persen bayi dan 98,7 persen dimulai pada hari ketiga. Menyusui dilakukan secara eksklusif oleh 70 persen selama periode neonatal. Resiko kematian neonatal empat kali lipat lebih tinggi pada bayi yang diberi susu berbasis cairan atau makanan padat selain ASI. Terdapat tanda bahwa respon-dosis terhadap resiko peningkatan kematian bayi dibandingkan dengan inisiasi menyusui yang tertunda dari satu jam pertama sampai tujuh hari. Inisiasi setelah hari pertama terkait dengan 2,4 kali lipat peningkatan risiko kematian. Penulis menyimpulkan bahwa 16 persen kematian bayi dapat dicegah jika semua bayi disusui sejak hari pertama dan 22 persen dapat dicegah bila menyusui dimulai selama satu jam pertama. (Edmond KM, Zandoh C, Quigley MA, Amenga-Etego S, Owusu-Agyei S, Kirkwood BR. Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal mortality. Pediatrics 117: 380-386, 2006)

v Mitchell EA, Scragg R, Stewart AW, Becroft DMO, Taylor BJ, For RPK, et al. Results from the first year of the New Zealand cot death study (Hasil tahun pertama kajian kematian saat tidur di Selandia Baru). NZ Med J 1991;104:71-6

v Arnon SS, Damus K, Thompson B, Midura TF, Chin J. Protective role of human milk against sudden death from infant botulism (Peranan perlindungan air susu manusia terhadap kejadian meninggal mendadak akibat botulisme pada bayi). J Pediatr 1982;100:568-73

15.Meningkatkan resiko otitis media dan infeksi saluran telinga

v Jumlah otitis media akut meningkat secara signifikan dengan menurunnya durasi dan eksklusivitas menyusui. Bayi Amerika yang diberikan ASI eksklusif selama empat bulan atau lebih mengalami penurunan 50 persen dibandingkan dengan bayi yang tidak disusui. Penurunan sebesar 40 persen kejadian dilaporkan berasal dari bayi ASI yang diberikan tambahan (makanan/susu formula) lain sebelum usia empat bulan. (Duncan B, Ey J, Holberg CJ, Wright AL, martines M, Taussig LM. Exclusive breastfeeding for at least 4 months protects againsts otitis media. Pediatrics 91: 867-872, 1993)

v Antara usia enam dan 12 bulan insiden pertama otitis media lebih besar untuk bayi susu formula daripada untuk bayi ASI eksklusif. Untuk bayi ASI eksklusif insidensi ini meningkat dari 25 persen menjadi 51 persen dibandingkan kenaikan dari 54 persen menjadi 76 persen untuk bayi ang hanya diberikan susu formula. Para penulis menyimpulkan bahwa menyusui bahkan untuk jangka pendek (tiga bulan) akan secara signifikan mengurangi episode dari otitis media selama masa kanak-kanak. (Duffy LC, Faden H, Wasielewski R, Wolf J, Krystofik D. Exclusive breastfeeding protects against bacterial colonization and day care exposure to otitis media. Pediatrics 100: E7, 1997)

v Saarinen UM. Prolonged breastfeeding as prophylaxis for recurrent otitis media (Menyusui lebih lama sebagai profilaksis (pencegahan) otitis media berulang). Acta Pediatr Scand 1982;71:567-71

v Teele DW, Klein JO, Rosner B. Epidemiology of otitis media during the first seven years of life in children in greater Boston: a prospective cohort study (Epidemiologi otitis media selama tujuh tahun pertama kehidupan pada anak di Boston: studi lanjutan prospektif). J Infect Dis 1989;160:83-94

v Duncan B, Ey J, Holberg CJ, Wright AL, Martinez FD, Taussig LJ. Exclusive breastfeeding for at least 4 months protects against otitis media (Menyusui secara eksklusif selama minimal 4 bulan memberikan perlindungan terhadap otitis media). Pediatrics 1993;91:867-72

v Owen MJ, Baldwin CD, Swank PR, Pannu AK, Johnson DL, Howie VM. Relation of infant feeding practices, cigarette smoke exposure and group child care to the onset and duration of otitis media with effusion in the first two years of life (Hubungan antara praktek pemberian makanan pada bayi, ekspos terhadap asap rokok, dan tempat penitipan/perawatan anak umum terhadap kejadian dan durasi otitis media dengan efusi pada dua tahun pertama kehidupan). J Pediatr 1993;123:702-11

v Harabuchi Y, Faden H, Yamanaka N, Duffy L, Wolf J, Krystofik D. Human milk secretory IgA antibody to nontypeable Hæmophilus influenzæ: Possible protective effects against nasopharyngeal colonization (Susu manusia sekretori antibodi IgA pada influenza Haemophilus nontypeable: pengaruh protektif terhadap kolonisasi nasopharyngeal). J Pediatr 1994;124:193-8

v Aniansson G, Alm B, Andersson B, Håkansson A, Larsson P, Nylén O, et al. A prospective cohort study on breastfeeding and otitis media in Swedish infants (Studi lanjutan prospektif pada menyusui dan otitis media pada bayi Swedia). Pediatr Infect Dis J 1994;13:183-8

v Paradise JL, Elster BA, Tan L. Evidence in infants with cleft palate that breast milk protects against otitis media (Bukti pada bayi dengan celah langit-langit mulut: air susu ibu memberikan perlindungan terhadap otitis media). Pediatrics 1994;94:853-60

v Sassen ML, Brand R, Grote JJ. Breastfeeding and acute otitis media (Menyusui dan otitits media akut). Am J Otolaryn 1994;15:351-7

v Dewey KG, Heinig J, Nommsen-Rivers LA. Differences in morbidity between breastfed and formula fed infants (Perbedaan kejadian sakit pada bayi yang disusui dan bayi yang diberi susu formula). J Pediatr 1995;126:696-702 (risk also increased in FF infant for diarrhea)

v Scariati PD, Grummer-Strawn LM, Fein SB. A longitudinal analysis of infant morbidity and the extent of breastfeeding in the United States (Analisis longitudinal terhadap kejadian sakit pada bayi dan masa menyusui di Amerika Serikat). Pediatrics 1997;99:e5

16.Meningkatkan resiko efek samping kontaminasi lingkungan

v Sebuah studi Belanda menunjukkan bahwa pada usia enam tahun, perkembangan kognitif dipengaruhi oleh paparan pra-lahir terhadap poliklorinasi bifenil (PCB) dan dioksin. Efek buruk paparan pra-lahir pada hasil neurologis juga ditunjukkan dalam kelompok susu formula tetapi tidak dalam kelompok yang diberikan ASI. Meskipun terjadi paparan PCB mealui ASI, studi ini menemukan bahwa pada usia 18 bulan, 42 bulan, dan pada usia enam tahun suatu efek yang menguntungkan dari menyusui ASI terlihat pada kualitas gerakan, dalam hal kelancaran, dan dalam tes perkembangan kognitif. Data memberikan bukti bahwa paparan PCB saat pra-lahir telah memberikan efek negatif secara halus pada neurologis dan perkembangan kognitif anak sampai usia sekolah. Penelitian ini juga memberikan bukti menyusui ASI melawan perkembangan merugikan dari efek PCB dan dioksin. (Boersma ER, lanting CI. Environmental exposure to polychlorinated biphenyls (PCBs) and dioxins. Consequences for longterm neurological and congnitive development of the child. Adv Exp Med Biol 478:271-287, 2000)

v Penelitian yang lain dilakukan di Belanda untuk menentukan efek paparan pra- lahir terhadap poliklorinasi bifenil (PCB), mempelajari bayi yang disusui ASI dan bayi yang diberikan susu formula pada saat mereka berusia sembilan tahun. Dengan mengukur latency pendengaran P300 (waktu reaksi terhadap rangsangan yang masuk, yang diketahui dipengaruhi secara negatif oleh PCB) mereka menemukan bahwa mereka yang diberi susu formula atau yang disusui ASI selama kurang dari enam sampai 16 minggu, mengalami latency yag loebih besar dan mekanisme melambat di tengah sistem saraf yang mengevaluasi dan memproses rangsangan. Di sisi lain, proses menyusui mempercepat mekanisme ini. (Vreugedenhill HJI, Van Zanten GA, Brocaar MP, Mulder PGH, Weisglas - Kuperus, N. Prenatal exposure to polychlorinated biphenols and breastfeeding: opposing effects on auditory P300 latencies in 9-year old Dutch children. Devlop Med & Anak Neurol 46: 398-405, 2004)

v Setchell KDR, Zimmer-Nechmias L, Cai J, Heubi JE. Exposure of infants to phyto-oestrogens from soy-based infant formula (Paparan fitoestrogen pada bayi dari susu formula berbasis kedelai). Lancet 1997;350:23-27

v Fitzpatrick M, Mitchell K, et al. Soy formulas and the effects of Isoflavones on the thyroid (Susu kedelai formula dan pengaruh isoflavon pada tiroid). N Z Med J. 2000 Feb 11;113(1103):24-6.

v Keating JP, Schears GJ, Dodge PR. Oral water intoxication in infants (Keracunan air pada bayi). Am J Dis Child 1991;145:985-90

v Bruce RC, Kiegman RM. Hyponatremic seizures secondary to oral water intoxication in infancy: association wiht commercial bottled drinking water (Kejang hiponatremik akibat keracunan air minum pada bayi: hubungan dengan minuman botol komersial). Pediatrics 1997;100; p e4

v Finberg L. Water intoxication (Keracunan air). (editorial). Am J Dis Child 1991;145:981-2

v Shannon MW, Graef JW. Lead intoxication in infancy (Keracunan logam timbal pada bayi). Pediatrics 1992;89:87-90

B. RESIKO PEMBERIAN SUSU FORMULA UNTUK IBU

1. Meningkatkan resiko kanker payudara

v Menyusui mengurangi resiko kanker payudara pada ibu dan infeksi, alergi, dan autoimun pada bayi. Kehadiran mediator dari sistem kekebalan bawaan ASI, termasuk defensins, cathelicidins, dan reseptor seperti-tol (TLRs), diekstrak dan dianalisa dari pecahan whey dari kolostrum dan susu masa-transisi dan susu matang (n = 40) dari ibu-ibu normal (n =18) dan dari ibu dengan autoimun atau penyakit alergi. Para penulis menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh bawaan ASI sangat kompleks dan memberikan perlindungan bagi payudara ibu dan pengembangan jaringan saluran pencernaan bayi yang baru lahir. (Armogida, Sheila A.; Yannaras, Niki M.; Melton, Alton L.; Srivastava, Maya D. Identification and quantification of innate immune system mediators in human breast milk. Alergi dan Asma Proc 25: 297-304, 2004)

v Para peneliti dari Inggris mengevaluasi kemungkinan hubungan antara insiden kanker dan proses menyusui selama masa kanak-kanak. Studi ini melibatkan hampir 4.000 orang dewasa yang pada awalnya disurvei pada tahun 1937-1939. Data yang dimasukkan di meta-analisis menunjukkan bahwa tingkat kanker payudara didiagnosis pada wanita premenopause adalah sekitar 12 persen lebih rendah di antara wanita yang telah disusui saat bayi. (Martin R, Middleton N, Gunnell D, Owen C, Smith G. Breastfeeding and Cancer: The Boyd Orr Cohort and a Systematic Review with Meta-Analysis. Jurnal Institut Kanker Nasional. 97: 1446-1457, 2005)

v Layde PM, Webster LA, Baughman AL, Wingo PA, Rubin GL, Ory HW and the cancer and steroid hormone study group. The independent associations of parity, age at first full term pregnancy, and duration of breastfeeding with the risk of breast cancer (Hubungan independen antara keseimbangan, usia kehamilan pertama, dan durasi menyusui dengan resiko kanker payudara). J Clin Epidemiol 1989;42:963-73

v Ing R, Ho JHC, Petrakis NL. Unilateral breastfeeding and breast cancer (Menyusui unilateral dan kanker payudara). Lancet July 16, 19977;124-27

v McTiernan A, Thomas DB. Evidence for a protective effect of lactation on risk of breast cancer in young women (Bukti pengaruh perlindungan dari laktasi terhadap resiko kanker payudara pada wanita muda). Am J Epidemiol 1986;124:353-74

v Yuan J-M, Yu MC, Ross RK, Gao Y-T, Henderson BE. Risk factors for breast cancer in Chinese women in Shanghai (Faktor resiko kanker payudara pada wanita China di Shanghai). Cancer Res 1988;58:99-104

v Yoo K-Y, Tajima K, Kuroishi T, Hirose K, Yoshida M, Miura S, Murai H. Independent protective effect of lactation against breast cancer: a case-control study in Japan (Pengaruh perlindungan independen dari laktasi terhadap kanker payudara: studi kasus di Jepang). Am J Epidemiol 1992;135:726-33

v Reuter KL, Baker SP, Krolikowski FJ. Risk factors for breast cancer in women undergoing mammography (Faktor resiko kanker payudara pada wanita yang menjalani mamografi). Am J Radiol 1992;158:273-8

v United Kingdom National Case-Control Study Group. Breastfeeding and risk of breast cancer in young women (Menyusui dan resiko kanker payudara pada wanita muda). Br Med J 1993;307:17-20

v Newcomb PA, Storer BE, Longnecker MP, Mittendorf R, Greenberg ER, Clapp RW, et al. Lactation and a reduced risk of premenopausal breast cancer (Laktasi dan penurunan resiko kanker payudara premenopause). N Eng J Med 1994;330:81-7

v Tao S-C, Yu MC, Ross RK, Xiu K-W. Risk factors for breast cancer in Chinese women of Beijing (Faktor resiko kanker payudara pada wanita China di Beijing). Int J Cancer 1988;42:495-98

v Siskind V, Schofield F, Rice D, Bain C. Breast cancer and breastfeeding: results from an Australian case-control study (Kanker payudara dan menyusui: hasil studi kasus Australia). Am J Epidemiol 1989;130:229-36

v Romieu I, Hernández-Avila M, Lazcano E, Lopez L, Romero-Jaime R. Breast cancer and lactation history in Mexican women (Kanker payudara dan riwayat laktasi pada wanita Meksiko). Am J Epidemiol 1996;143:543-52

v Furberg H, Newman B, Moorman P, Millikan R. Lactation and breast cancer risk (Laktasi dan resiko kanker payudara). Int J Epidemiol 1999;28:396-402

v Tryggvadóttir L, Tulinius H, Eyfjord JE, Sigurvinsson T. Breastfeeding and reduced risk of breast cancer in an Icelandic cohort study (Menyusui dan penurunan resiko kanker payudara pada studi kelompok populasi di Islandia). Am J Epidemiol 2001;154:37-42

2. Meningkatkan resiko kelebihan berat badan

v Sebuah kelompok dibentuk di Brasil, terdiri dari 405 wanita di enam dan sembilan bulan setelah melahirkan untuk menentukan hubungan antara penumpukan berat badan dan praktek menyusui. Ketika wanita yang memiliki 22 persen lemak tubuh dan menyusui selama 180 hari dibandingkan dengan mereka yang telah menyusui hanya 30 hari, setiap bulan masa menyusui mengurangi rata-rata 0,44 kg berat badan. Di kesimpulan para penulis mengkonfirmasi hubungan antara menyusui dan berat badan setelah melahirkan dan bahwa dukungan durasi yang lebih lama dapat memberikan kontribusi untuk penurunan penumpukan berat badan setelah melahirkan. (Kac G, Benicio MHDA, Band-Meléndez G, Valente JG, Struchiner CJ. Breastfeeding and postpartum weight retention in a cohort of Brazilian women. Am J Clin Nutr 79: 487-493, 2004)

v Dewey KG, Heinig MJ, Nommsen LA. Maternal weight loss patterns during prolonged lactation (Pola penurunan berat badan maternal selama laktasi jangka panjang). Am J Clin Nutr 1993;58:162-6

3. Meningkatkan resiko kanker ovarium dan kanker endometrium

v Tidak menyusui telah dikaitkan dengan peningkatan resiko kanker ovarium. Sebuah studi kasus terkontrol yang cukup besar Italia mempelajari 1.031 wanita dengan kanker ovarium epitelial dibandingkan dengan 2.411 wanita yang dirawat di rumah sakit yang sama untuk berbagai spektrum akut kondisi non-neoplastik, tidak terkait dengan faktor-faktor resiko yang diketahui untuk kanker ovarium. Hasilnya menunjukkan tren terbalik dengan resiko meningkatkan durasi menyusui dan jumlah anak yang disusui. Tambahan analisis oleh subtipe histologis menunjukkan bahwa peran proteksi dari menyusui akan lebih besar untuk neoplasma serius. (Chiaffarino F, Pelucchi C, Negri E, Parazzini F, Franceschi S, Talamini R, Montella F, Ramazzotti V, La Vecchia C. Breastfeeding and the risk of epithelial ovarian cancer in an Intalian population. Gynecol Oncol. 98: 304 -308, 2005)

v Untuk menentukan hubungan antara menyusui dan kanker endometrium, penelitian kasus-terkontrol di sebuah rumah sakit di Jepang membandingkan kasus wanita dengan kanker endometrium (155) dan kelompok yang terkontrol (96) dipilih dari para wanita yang menghadiri klinik rawat jalan untuk skrining kanker rahim. Para wanita ini diwawancarai untuk mengetahui praktik menyusui, penggunaan alat kontrasepsi, serta potensi faktor resiko kanker endometrium. Para penulis mengamati resiko kanker endometrium lebih tinggi pada wanita yang belum pernah menyusui, dan menyimpulkan bahwa menyusui mengurangi risiko kanker endometrium pada wanita Jepang. (Okamura C, Tsubono Y, Ito K, Niikura H, Takano T, Nagase S, Yoshinaga K, Terada Y, Murakami T, Sato S, Aoki D, Jobo T, Okamura K, N. Yaegashi Tohoku. Lactation and risk of endometrial cancer in Japan: a case-control study. J Exp Med 208: 109-115, 2006)

v Hartge P, Schiffman MH, Hoover R, McGowan L, Lesher L, Norris HJ. A case control study of epithelial ovarian cancer (Studi kasus kanker ovarium epitelia). Am J Obstet Gynecol 1989;161:10-6

v Gwinn ML, Lee NC, Rhodes PH, Layde PM, Rubin GL. Pregnancy, breastfeeding and oral contraceptives and the risk of epithelial ovarian cancer (Kehamilan, menyusui dan kontrasepsi oral dan resiko kanker ovarium epitelia). J Clin Epidemiol 1990;43:559-68

v Rosenblatt KA, Thomas DB, and the WHO collaborative study of neoplasia and steroid contraceptives. Lactation and the risk of epithelial ovarian cancer (Kolaborasi studi Rosenblatt KA, Thomas DB, dan WHO pada kontrasepsi steroid dan neoplasia. Laktasi dan resiko kanker ovarium epitelia). International J Epidemiol 1993;22:192-7

v Petterson B, Hans-Olov A, Berström R, Johansson EDB. Menstruation span-a time-limited risk factor for endometrial carcinoma (Faktor resiko terbatas menstruasi dengan cakupan waktu tertentu untuk karsinoma endometrial). Acta Obstet Gynecol Scand 1986;65:247-55

v Rosenblatt KA, Thomas DB, and the WHO collaborative study of neoplasia and steroid contraceptives. Prolonged Lactation and endometrial cancer (Kolaborasi studi Rosenblatt KA, Thomas DB, dan WHO pada kontrasepsi steroid dan neoplasia. Laktasi jangka panjang dan kanker endometrium). Int J Epidemiol 1995;24:499-503

4. Meningkatkan resiko osteoporosis

v Penelitian longitudinal menunjukkan bahwa baik kehamilan dan laktasi berhubungan dengan hilangnya kepadatan mineral tulang hingga ke lima persen, dan bahwa kehilangan tersebut akan pulih setelah penyapihan. Penelitian silang telah menunjukkan bahwa wanita dengan banyak anak dan periode total durasi laktasi memiliki kepadatan mineral tulang yang sama atau lebih tinggi dan risiko fraktur yang sama atau lebih rendah daripada teman sebaya mereka yang tidak pernah melahirkan dan menyusui. Tren ini telah diamati dan ditemukan di penampang studi kasus-terkontrol. Hubungan kausal masih belum ditentukan.(Karlsson MK, Ahlborg HG, Karlsson C. Maternity and mineral density. Acta Orthopaedica 76: 2-13, 2005)

v Aloia JF, Cohn SH, Vaswani A, Yeh JK, Yuen K, Ellis K. Risks factors for postmenopausal osteoporosis (Faktor resiko osteoporosis pasca menopause). Am J Med 1985;78:95-100

v Melton LJ, Bryant SC, Wahner HW, O'Fallon WM, Malkasian GD, Judd HL, Riggs BL. Influence of breastfeeding and other reproductive factors on bone mass later in life (Pengaruh menyusui dan faktor reproduktif lainnya pada massa tulang di usia lanjut). Osteoporosis Int 1993;3:76-83

v Cumming RG, Klineberg RJ. Breastfeeding and other reproductive factors and the risk of hip fractures in elderly women (Menyusui dan faktor resiko lainnya dan resiko retak tulang panggul pada wanita usia lanjut). International J Epidemiol 1993;22:684-91

v Blaauw R, Albertse EC, Beneke T, Lombard CJ, Laubscher R, Hough FS. Risk factors for the development of osteoporosis in a South African population (Faktor resiko perkembangan osteoporosis di populasi Afrika Selatan). S Afr Med J 1994;84:328-32

v Krieger N, Kelsey JL, Holford TR. O'Connor T. An epidemiologic study of hip fractures in potmenopausal women (Studi epidemiologi terhadap retak tulang panggul pada wanita pasca menopause). Am J Epidemiol 1982;116:141-8

5. Mengurangi jarak alami kelahiran anak

v Kuesioner digunakan untuk memperoleh data dari ibu-ibu menyusui di Nigeria untuk menentukan dampak dari praktik menyusui pada amenorrheoa laktasi. Pemberian ASI eksklusif yang dipraktekkan oleh 100 persen dari ibu-ibu yang pulang dari rumah sakit. Kemudian turun menjadi 3,9 persen setelah enam bulan. Menyusui dengan menuruti isyarat bayi dipraktikkan oleh 98,9 persen dari ibu tersebut. Dalam enam minggu 33,8 persen dari ibu kembali mengalami mensus dan meningkat menjadi 70,2 persen pada enam bulan. Durasi amenorrheoa laktasi lebih panjang di ibu yang menyusui eksklusif daripada mereka yang tidak. Tak satu pun dari 178 ibu-ibu yang berpartisipasi dalam survei menjadi hamil. (Egbuonu Aku, Ezechukwu CC, Chukwuka JO, Ikechebelu JI. Breastfeeding, return of menses, sexual activity and contraceptive practices among mothers in the first six months of lactation in Onitsha, South Eastern Nigeria. J Obstet Gynaecol. 25: 500-503, 2005)

v Thapa S, Short RV, Potts M. Breastfeeding, birth spacing, and their effects on child survival (Menyusui, jarak kelahiran, dan pengaruhnya pada keselamatan bayi). Nature 1988;335:679-82

v Short. Breastfeeding (contraceptive effect) (Menyusui (pengaruh kontrasepsi)). Scientific American 1984;250:35-41

v Gross BA. Is the lactational amenorrhea method a part of natural family planning? Biology and policy (Apakah metode amenorrhea laktasi bagian dari program keluarga berencana alami?). Am J Obstet Gynecol 1991;165:2014-9

v Kennedy KI, River R, McNeilly AS. Consensus statement on the use of breastfeeding as a family planning method (Pernyataan konsensus atas penerapan menyusui sebagai metode keluarga berencana). Contraception 1989;39:477-96

6. Meningkatkan resiko rheumatoid arthritis

Faktor-faktor resiko hormon dan reproduksi wanita dan dipelajari dalam kelompok 121.700 wanita yang terdaftar dalam Nurses 'Health Study. Menyusui selama lebih dari 12 bulan berbanding terbalik dengan perkembangan rheumatoid arthritis. Efek ini ditemukan terkait dengan dosis. Mereka yang lebih singkat menyusui memiliki resiko yang lebih tinggi. (Karlson E W et al. Do breastfeeding and other reproductive factors influence future risk of rheumatoid arthritis?: Results from the Nurses Health Study. Arthiritis & Rematik 50: 3.458-3.467, 2004)

7. Meningkatkan stres dan kecemasan

Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara praktik menyusui, stres, dan suasana hati dan tingkat serum kortisol, prolaktin dan ACTH (hormon adrenocorticotrophic) pada ibu, penulis membandingkan tanggapan emosional dari 84 ibu yang menyusui secara eksklusif, 99 ibu yang hanya memberikan susu formula dan 33 wanita sehat non pasca-melahirkan. Respon para ibu tersebut dipelajari pada empat sampai enam minggu pasca melahirkan.

Secara keseluruhan ibu menyusui memiliki suasana hati lebih positif, melaporkan peristiwa lebih positif, dan merasakan stres yang lebih sedikit daripada yang memberikan susu formula. Para ibu menyusui memiliki depresi dan kemarahan yang lebih rendah daripada yang memberikan susu formula dan kadar prolaktin serum berbanding terbalik dengan stres dan suasana hati pada ibu yang memberikan susu formula. (Groer M W. Differences between exclusive breastfeeders, formula-feeders, and controls: a study of stress, mood and endocrine variables. Biol. Res Nurs. 7: 106-117, 2005)

8. Meningkatkan resiko dibetes pada ibu

Menyusui juga mengurangi risiko ibu diabetes tipe II dalam kehidupan di kemudian hari. Semakin lama durasi menyusui, semakin menurunkan insiden diabetes, menurut studi yag dilaksanakan di Harvard. Para peneliti mempelajari 83.585 ibu di Nurses ' Health Study (NHS) dan 73.418 ibu di Nurses 'Health Studi II (NHS II), dan menentukan bahwa setiap tahun menyusui akan mengurangi resiko diabetes ibu sebesar 15 persen. (Stuebe PM, Rich-Edwards JW, Willett WC, Duration of lactation and incidence of type 2 diabetes. JAMA 294: 2601-2610, 2005)

SUMBER:

FAKTA RESIKO SUSU FORMULA, AIMI PRESS, 2009

Risks of Formula Feeding: a Brief Annotated Bibliography, (INFACT Canada, 2nd rev. 2006), prepared by Elisabeth Sterken, BSc, MSc, Nutritionist (http://www.infactcanada.ca/RisksofFormulaFeeding.pdf)

Risks of Artificial Feeding, compiled by dr. Jack Newman (rev. 2002), http://www.kellymom.com/newman/risks_of_formula_08-02.html