Sunday, May 1, 2011

akad persusuan ( ibu susu)

Zaszima Abu-Samah created the doc: "Akad Persusuan (Milk Agreement)"

Source: http://muslimah.or.id/fikih/tuntunan-akad-persusuan.html

Tuntunan Akad Persusuan

Alhamdulillah, syariat Islam begitu lengkap dalam mengatur setiap seluk kehidupan umat manusia. Termasuk dalam hal penyusuan dimana perkara ini memang sangat penting mengingat masa-masa awal kehidupan seorang manusia (yang masih berwujud bayi tak berdaya), sangat bergantung pada air susu seorang ibu. Namun ada kalanya seorang ibu kandung tidak dapat atau terhalang dari menyusui sehingga diperlukan ibu susuan lain bagi sang bayi – walaupun disana telah ada susu formula, namun tetap yang terbaik dan sesuai dengan kemampuan cerna seorang bayi adalah yang keluar dari seorang ibu (manusia) -. Dalam hal ini, maka seorang suami dapat meminta wanita lain untuk menyusui anaknya (istirdhaa’).

Syarat Akad Penyusuan

Dalam kitab Al-Mughni (V/278), para ulama menetapkan empat syarat dalam melakukan akad penyusuan. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Harus jelas berapa lama masa penyusuan yang dilakukan. Sebab tidak mungkin menentukan upah susuan kecuali setelah masa penyusuannya diketahui, yang tentunya akan berbeda upahnya sesuai dengan kesepakatan.
  2. Melihat langsung kondisi bayi yang akan disusui. Sebab ada tidaknya perbedaan dalam penyusuan teragantung kepada besar kecilnya serta lahap dan tidaknya bayi yang akan disusui.
  3. Tempat penyusuan, karena berbeda antara satu tempat dan lainnya, bisa jadi merepotkan ibu susu jika dilakukan di rumah si bayi, sebaliknya akan menyenangkan jika dilakukan di rumah sendiri (rumah ibu susu).
  4. Mengetahui dengan jelas nilai upah yang disepakati.

Upah Ibu Susuan

Ketika seorang ibu susuan memang dalam akadnya akan diberi upah (karena bisa jadi seorang ibu susuan sekedar menolong dan tidak menginginkan untuk diupah) maka para ulama berselisih pendapat tentang wujud dari upah tersebut, apakah berupa makanan dan pakaian atau berupa nilai uang.

Menurut satu riwayat dari madzhab Ahmad , bahwa boleh menyewa wanita susuan dengan imbalan makanan dan pakaian berdasar firman Allah Ta’ala, yang artinya:

… Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf…” (QS/ Al-Baqarah: 233)

Pada ayat di atas, Allah mewajibkan memberikan nafkah dan pakaian kepada wanita yang menyusui tersebut. Ini juga merupakan madzhab Abu Hanifah rahimahullah.

Namun ulama lain – imam Syafi’i, Ibnu Mundzir, salah satu riwayat dari Ahmad -, hal itu tidak dibolehkan karena perbedaan yang mencolok dalam nilai. Padahal syarat sahnya akad penyusuan harus diketahui berapa nilai uang yang harus diberikan sebagai imbalan. Sementara Imam Malik dan Ishaq berpendapat secara umum akad ijarah (jual jasa) dengan imbalan makanan atau minuman dibolehkan (termasuk dalam hal menyusui).

Apa yang dikatakan pengarang kitab Al-Mughni dalam hal ini bisa menjadi “penengah”, yaitu, “Apabila syarat pengupahan berupa pakaian dan maknaan yang sudah jelas ciri-cirinya, maka hal itu dibolehkan menurut kesepakatan ulama.” Allahu a’lam.

Isi Akad Penyusuan

Isi akad perjanjian adalah berkenaan dengan air susu, bukan perawatan bayi. Apabila wanita tersebut hanya menyusui bayi tanpa memberikan perawatan terhadap si bayi, maka wanita tersebut sudah berhak menerima upah. Apabila wanita tersebut hanya memberikan perawatan saja tanpa menyusuinya maka ia tidak berhak mendapatkan upah tersebut, berdasarkan firman Allah Ta’ala, yang artinya:

…kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikalanlah kepada mereka upahnya” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Yang dikecualikan dari kasus ini adalah apabila kedua pihak sepakat untuk merawat bayi, atau kebiasaan masyarakat yang berlaku di tempat tersebut bahwa akad menyusui termasuk di dalamnya merawat anak. Sehingga upah merawat maka sudah termasuk dalam akad. Wallahu a’lam.

Siapa yang Menjadi Ibu Susuan?

Siapa saja dapat menjadi ibu susuan selama ia mendapat izin dari suaminya. Jangan sampai hak-hak suaminya tidak terpenuhi karena kesibukannya menyusui dan merawat bayi orang lain.

Apabila Si Bayi Meninggal

Ibnu Qudamah berkata, “Apabila si bayi meninggal dunia, maka akad tersebut batal, karena mustahil untuk diteruskan dan tidak mungkin bayi lain dapat menempati posisi bayi yang sudah meninggal, karena adanya perbedaan kuat tidaknya seseorang bayi dalam menyusu dan demikian juga adanya perbedaan khasiat air susu untuk masing-masing bayi.”

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan, “Apabila akad tersebut batal dikarenakan kematian bayi, maka perjanjian sewa-menyewanya juga batal dan ibu susuan harus mengembalikan uang yang telah diterima. Apabila hal itu terjadi ketika susuan berlangsung, maka ibu susuan harus mengembalikan sisa uang dengan waktu yang tersisa.”

Di antara ulama madzhab Syafi’i ada yang berpendapat bahwa akad tersebut tidak batal selama ibu susuan masih ada, karena kendala terletak pada bayi yang meninggal dunia. Apabila pihak keluarga bayi dan pihak wanita yang menyusui sepakat untuk menggantinya dengan bayi lain, maka penyewan tersebut terus berlangsung. Jika tidak maka akad tersebut dianggap batal. Demikian yang dikatakan oleh pengarang kitab al-Majmuu’.

Apabila Ibu Susuan Meninggal

Apabila wanita susuan tersebut meninggal dunia, maka akad tersebut dianggap batal karena inti penyewaan sudah tidak ada.

Demikian pendapat yang diriwayatkan oleh Abu Bakar dari kalangan madzhab hambali. Sebagian ulama madzhab Syafi’i berpendapat bahwa akad tersebut batal dan sisa uang sewa yang ada digunakan untuk mencari wanita lain yang mau menggantikan posisi wanita yang meninggal tadi hingga masa yang telah disepakati usai. Karena hal itu ibarat hutang yang harus dibayar. Allahu a’lam.

***

Artikel muslimah.or.id

Disusun ulang oleh tim muslimah.or.id dari Buku Ensiklopedia Anak Tanya Jawab Tentang Anak Dari A sampai Z karya Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi

Dimurajaah oleh Ust Ammi Nur Baits

No comments:

Post a Comment