Monday, July 18, 2011

Buruh Pabrik Berjuang Demi ASI Eksklusif

KBR68H - Bagi banyak ibu, memberikan ASI eksklusif menjadi cita-cita sebelum bayi lahir ke dunia. Tetapi bagaimana jika masa cuti berakhir, sementara mereka harus kembali bekerja? Bagaimana menyimpan ASI kalau tak ada kulkas? Reporter KBR68H Suryawijayanti berbincang dengan para buruh pabrik tekstil di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat yang harus berjibaku memberikan ASI eksklusif kepada anaknya.

Buruh dan ASI

Kemijem menunjukkan peralatan yang rutin ia bawa ke pabrik. Termos kecil dan botol-botol kecil berjajar rapi. Kemijem menjelaskan, botol-botol itu diberi nomor supaya tidak membingungkan. Satu botol berisi kira-kira 100 mililiter ASI. Dalam sehari biasanya ia memeras susu hingga 3 kali.

Botol-botol yang berisi ASI ini dimasukkan ke termos besar berisi es batu.

Kemijem adalah buruh pabrik tekstil di Rancaekek, Bandung, Jawa Barat. Sudah hampir 10 tahun dia menghadapi mesin pemintal kain. Hari-hari ini dia harus cuti panjang karena penyakit asmanya kambuh. Jika tak cuti, perempuan asal Sleman ini setiap hari bekerja di pabrik yang letaknya sekitar setengah jam dengan motor dari rumahnya.

Botol-Botol ASI dikasih nomer sesuai urutan waktu memerah

Botol-Botol ASI dikasih nomer sesuai urutan waktu memerah

Memberikan ASI eksklusif kepada bayinya, bukan perkara mudah bagi Kemijem.

“Nggak ada dukungan dari keluarga, hanya bersama suami saja. Saya satu rumah sama kakak, dia nggak mendukung, “Sudah kasih saja susu formula.” Saya bilang nggak. Yang ngasuh juga bilang kasih susu formula. Saya bilang tidak, pokoknya harus ekslusif selama enam bulan.”

Keinginan Kemijem memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan kepada Rizky anaknya, bukan tanpa alasan. Anak pertamanya yang berjarak 11 tahun dengan si bungsu tak mendapatkan ASI secara penuh. Dulu ia tak punya banyak pengetahuan soal ASI.

“Jadi sebelum melahirkan saya sudah konsultasi ke dokter minta ASI eksklusif sama Inisiasi Menyusui Dini. Tapi kondisi yang lemah karena di-Caesar sempat pingsan, nggak bisa IMD. Tapi saya tetap harus memberikan ASI eksklusif, meskipun awalnya gak diizinkan, karena nggak bisa jalan. Tapi setelah dua hari saya nekat dan pakai kursi roda ke ruang bayi untuk memberi ASI.”

Hanya 1,5 bulan usai melahirkan Kemijem harus kembali bekerja. Itu artinya masih ada 4,5 bulan bagi bayinya untuk menikmati hak ASI eksklusif.

Termos mini untuk menyimpan ASI usai diperah

Termos mini untuk menyimpan ASI usai diperah

“Alhamdulilah merepotkan juga sih Bu, soalnya rumahnya di petak, belum punya kulkas, listriknya belum kuat. Alhamdulilah katanya bisa pakai termos es yang bisa tahan dua hari. Jadi setiap esnya cair, lalu diganti, selalu dicek gitu.”

Bersama suaminya, Kemijem berbagi tugas. Gunarto berburu es batu, sementara Kemijem harus meluangkan waktu setiap dua jam sekali untuk memerah ASI. Es batu dibutuhkan untuk memperpanjang usia ASI yang sudah diperah. Dalam sehari 4 botol ASI berhasil diperah.

“Jadi sebelum nganterin kerja beli es, pulang lagi, nganterin bayi ke yang ngasuh, lalu ambil ASI, begitu terus selama enam bulan.”

Mereka tak punya kulkas untuk menyimpan persediaan ASI yang sudah diperah. Daya listrik di rumah kontrakan mereka tak mencukupi. Sementara mencari warung yang menjual es batu, tak semudah yang dibayangkan.

Gunarto, suami Kemijem, menjelaskan, termos itu harus penuh diisi es batu. Jika tidak penuh nanti akan mencair. Gunarto memakai es balok karena lebih tahan lama dibandingkan batu es dari kulkas rumahan. Dengan es balok itu, ASI dalam botol bisa terjaga suhunya supaya tidak cepat basi.

Di tempat lain, Imas Asih Sri Maryani adalah rekan kerja Kemijem di salah satu pabrik garmen di Rancaekek, Jawa Barat. Sejak awal kehamilan anak pertama, Imas sudah berencana memberi salah satu merk susu formula kepada bayinya. Alasannya sederhana. Sebagai buruh dengan masa kerja tiga shift, ia membayangkan betapa repotnya jika harus memberikan ASI kepada buah hatinya.

Kemijem, Dinny dan Imas

Kemijem, Dinny dan Imas

“Dulu sempat mau pakai susu formula di awal-awal kehamilan. Suami saya juga nggak tahu, katanya anak dikasih ASI, itu ASI-nya kalau disimpan jadi darah. Bilang ke mama juga tidak mendukung.“

Demi memuluskan proses ASI Ekslusif , Imas memutuskan pindah rumah, jauh dari orangtuanya.

“Saya khan tinggal sama mamah. Karena takut nggak lulus ASI eksklusif, saya pindah jauh dari mamah, bawa adik. Pokoknya kalau pas waktu kerja adik ditelepon, saya kerja jam 10 malam besok pulang. Saya takut anak diberi makan.”

Untuk mencuri waktu memerah ASI, Imas harus berkompromi dengan teman-temannya di pabrik. Karena setiap kali ia memerah ASI, ia harus meninggalkan pekerjaan. Padahal mesin pabrik tak boleh mati. Sementara dalam sehari minimal ia butuh istirahat selama tiga kali untuk memerah ASI.

“Kalau masuk shift pagi, sebelum masuk jam setengah enam, trus istirahat pk. 09.00, dan shalat Dzuhur. Sekali merah dapatnya satu botol. Saya merah pakai tangan saja, nggak pernah pakai alat, cukup tangan bersih. Bahkan dulu di pabrik saya ini disebutnya Imas Steril. Ah banyak sekali omongan teman-teman yang nggak enak, tapi tetap jalani saja.”

Sulitnya Buruh Memberi ASI

Dinny Kus Andiany tengah mempraktikkan cara memerah ASI dengan tangan. Siang itu dia menyambangi rumah Kemijem untuk mempersiapkan Kelas Edukasi ASI yang akan segera digelar. Kemijem dan Imas yang telah lulus ASI esklusif tengah ditatar untuk membagikan kisahnya kepada teman-temannya di pabrik.

Asi di dalam Termos Es

Asi di dalam Termos Es

Kemijem dan Imas tampak tekun mempelajari langkah demi langkah yang dipraktikkan Dini.

Sudah hampir lima tahun ini Dinny aktif terlibat menyuarakan ASI eksklusif untuk bayi. Ibu dua anak ini tergabung dalam Klasi YOP (Yayasan Orangtua Peduli) Bandung, Klub Peduli ASI Kegiatannya memberikan pelatihan bagi para calon ibu, hingga pendampingan bagi ibu melahirkan.

“Tahun 2007 Bandung mendirikan Klasi diawali dua kelas, yakni ibu hamil dan ibu bekerj. Pesertanya beragam dari mulai ibu yang akan hamil, hamil, menyusui, lalu yang single. Bahkan ada nenek dan pengasuh juga ikut dalam kelas ini.”

Belakangan ini Kelasi menyasar para perempuan yang bekerja di pabrik. Pasalnya ibu yang bekerja di pabrik lah yang paling banyak menemui kendala jika harus memberikan ASI Eksklusif.

“Jadi kami punya anggota tim yang kerja di pabrik dan mengeluhkan sistem shift, tak seperti yang bekerja di zona nyaman. Soalnya khan ada sistem shift, dukungan kurang, waktu juga sulit, dan keterbatasan lain. Nah selanjutnya kami berusaha mendampingi, ini merintis karena tidak semua pabrik mau diajak kerjasama. Jadi harus pelan-pelan melakukan pendekatan”, lanjut Dinny.

Kunci Sukses Ibu ASI

Dinny menjelaskan, proses menyusui adalah proses belajar tiga orang sekaligus, yaitu bayi, ibu dan ayah.

“Menyusui itu tiga orang yang belajar. Bayi belajar menghisap, butuh perjuangan untuk itu, karena biasanya disuplai ibunya ketika di perut. Lalu ibunya harus punya ilmu dan percaya diri, harus kekeuh, meskipun banyak halangan. Dukungan suami tak kalah pentingnya. Suami harus mendukung dan menjadi satu tim, satu paket.”

Kemijem tidak akan sukses memberikan ASI eksklusif, jika suaminya tidak turut jungkir balik mendukungnya. Gunarto mulai terbuka wawasannya soal ASI esklusif awalnya hanya iseng-iseng membaca buku panduan ASI milik istrinya.

“Itu khan saya baca buku istri, kadang-kadang kalau istri capek pulang kerja, saya yang bacain, sementara istri tiduran. Saya tidak tahu sama sekali soal ASI Ekslusif. Eh setelah baca kok menarik dan saya penasaran. Pas baca itu saya bilang ke istri pokoknya harus lulus ASI eksklusif nanti.”

“Saya ikut rutin ngontrol kalau mamanya kerja, jangan sampai Rizky dikasih minuman atau makanan. Jadi ngecek ke pengasuh terus-terusan. Lalu kalau kemudian ya ngambil ASI ke pabrik untuk dibawa pulang. Cari es, meski capek tapi nggak papa, yang penting tetap ASI ekslusif”, lanjut Gunarto

Perjuangan memberikan ASI eksklusif semakin teruji, ketika Kemijem masuk rumah sakit karena demam berdarah. Dengan tangan diinfus, dia masih berusaha memerah ASI.

“Awalnya masih jalan produksi ASI-nya. Pas diinfus tangan satu meres, lalu suami yang pegang botolnya. Saya juga minta ke dokter agar diberi obat yang tidak bahaya untuk bayi.”

Namun, kondisi Kemijem membuat ASI tak keluar lancar. Hampir putus asa karena bayi terus rewel, Kemijem mengadu ke Kelasi Bandung. Beruntunglah banyak ibu yang saat itu tengah menyusui bayi mereka. Kemijem mendapatkan donor ASI. 10 botol yang cukup untuk persediaan tiga hari.

“Karena susah makan, sehari paling cuma bisa dapat dua botol saja. Jadi kalau sudah dapat peresan ama suami dibawa pulang, trus saya di rumah sakit sendiri. Keteteran. Sudah putus asa awalnya, lalu menghubungi teman di kelasi, trus dikasih tahu ada donor ASI. Alhamdulilah, saya gak apa-apa anak saya dapat ASI dari donor, yang penting anak saya tetap bisa dapat ASI, bukan susu formula.

Donor ASI juga menjadi pilihan Imas untuk anaknya. Dia tak sungkan meminta bantuan ASI kepada rekan kerjanya yang sama-sama memerah ASI. Bahkan donor ASI ini berlangsung hingga dua bulan.

“Waktu itu sempat ASI-nya gak cukup. Sempat minta donor ke teman, waktu itu dua bulanan meminta ASI, setiap hari minta satu botol.“

Imas sempat mengabaikan perintah dokter untuk meminum obat untuk menyembuhkan penyakit asmanya. Dia khawatir obat itu akan meracuni anaknya.

“Saya kasih ASI sampai umur 22 bulan, berhenti karena saya sakit asma. Sebelumnya sih saya nggak minum obat itu karena tak diperbolehkan untuk ibu menyusui. Tapi ketika berumur 22 bulan, asma saya sudah parah dan harus minum obat itu. Akhirnya berhenti ngasih ASI.”

Kemijem dan Imas sudah merasakan keampuhan ASI untuk anak-anak mereka. Kata mereka, perjuangan itu tak sia-sia. Anak mereka lebih sehat, pintar dan kreatif. ASI diakui memiliki banyak keunggulan dibanding susu formula. Yang paling buat buruh berpenghasilan pas-pasan seperti mereka, jelas ASI lebih murah.

http://kbr68h.com/saga/77/9334




No comments:

Post a Comment